Selasa, 30 Maret 2010

Agen Perniagaan

Agen Perniagaan
a) Pengertian
Agen Perniagaan (komersil agent) adalah seorang atau suatu perusahaan yang bertindak sebagai penyalur untuk menjualkan barang-barang keluaran perusahaan lain umumnya perusahnaan luar negeri dengan siapa ia mempunyai hubungan tetap. Seorang agen perniagaan selalu bertindak atas nama pengusaha dan juga mewakili pengusaha maka disini juga ada hubungannya pemberi kuasa. Perjanjian bentuk ini selalu mengandung unsur perwakilan (Volmacht) bagi pemegang kuasa. Dalam hal ini agen perniagaan sebagai pemegang kuasa, mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha
b) Dasar Hukum
. Di Indonesia kedudukan seorang agen perniagaan belum diatur dalam perundang-undangan karena komunikasi perdagangan pada waktu itu dengan luar negri belum banyak atau masih dalam tahap perkembangan. Lain halnya di luar negri, dimana perdagangan luar negri telah meningkat seperti di Inggris, Belanda, dan AS. Sebagai perbandingan, serta mengingat perkembangan kedudukan agent di Indonesia, maka disini akan kami uraikan tentang kedudukan agent di AS. Hubungan kedudukan agen perniagaan dengan prinsipalnay diatur dalam suatu kontrak yang disebut "Agentuur Contract" yaitu suatu kontrak agency dimana ditentukan antara lain mengenai :
• Daerah perwakilannya ( agencynya).
• Lamanya kontrak itu berlaku.
• Berkuasa tidaknya menutup perjanjian.
• Jumlah provisi dan penggantian ongkos.
c) Tugas/Kewajiban
• Perusahaan itu membeli barang-barang itu untuk perhitungnya sendiri
• mendapatkan komisi kemudian menjualnya kembali.
• Perusahaan itu merupakan wakil dari perusahaan yang memproduksi barang-barang Itu.
• Perusahaan itu bertindak sebagai penyalur untuk memenuhi pembelinya danmengusahakan suatu penawaran pembelian.
• Agen perusahaan adalah orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai perantara dengan pihak ketiga
d) Hak
• Mernpunyai hubungan tetap dengan pengusaha.
• Mewakili untuk mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha
• Kedudukan agen perusahaan dengan pengusaha adalah sederajat.
• Hubungan antara pengusaha dan agen perniagaan adalah merupakan hubungan pemberian kuasa.
• Agen perniagaan hanya boleh dituntut menanggung kerugian karena tidak masuknya pembayaran dari pembeli paling banyak sejumlah privisi yang akan diterimanya. Mengingat tugasnya, maka dikenal agen beli dan agen jual

2) Makelar
a) Pengertian
Makelar adalah pedagang perantara dalam jual beli baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diikat oleh pejabat yang berwenang dan terlebih dahulu harus mengangkat sumpah di Pengadilan Negeri sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya. Upah dari seorang Makelar yang jujur disebut provisi. Seorang perantara yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga untuk mengadakan perjanjian
b) Dasar Hukum
Mengenai makelar ini diatur dalam Buku I pasal 62 - 72 K.U.H.D. Menurut pengerti an UU adalah seorang perantara yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga untuk mengadakan perjanjian.
Dalam pasal 64 K.U.H.D disebutkan contoh beberapa macam perjanjian misalnya : perjanjian jual beli barang dagang, surat-surat berharga, asuransi, pengangkutan dengan kapal dan lain-lain.
c) Tugas/Kewajiban
Adapun kewajiban seorang makelar meliputi antara lain:
- Membuat dokumen mengenai transaksi-transaksi yang telah dibuat oleh pihak ketiga
- Memberikan copi atau foto copy dari catatan-catatan tentang transksi jika pihak III membutuhkan
Berakhirnya tugas makelar dapat terjadi antara lain :
1. Karena dicabut ijinya oleh pengadilan atas permohonan pihak yang pernah dirugikan oleh makelar
2. Karena makelar jatuh failed (kewajiban lebih besar daripada harta yang dimiliki berdasarkan penetapan dari pengadilan) diatur dalam pasal 62,64,66 KUHDagang
1. Membuat buku catatan mengenai tindakannya sebagai makelar.Setiap hari catatan itu disalin dalam buku harian dengan keterangan yang jelas, misaInya :
• Saat terjadinya perjanjian dan penyerahan
• Jenis serta banyaknya benda
• Harga benda
• Klausula perjanjian serta syarat-syarat yang dijanjikan.
2. Siap sedia setiap saat untuk memberi kutipan dari buku-buku kepada pihak-pihak yang bersangkutan terutama mengenai pembicaraan dan tindakan yang dilakukan dalam hubungan dengan transaksi yang diadakan (pasal 68 K.U.H.D)
3. Menyimpan monster (contoh barang) sampai penyerahan barang itu dilakukan (pasal 69 K.U.H.D).
4. Menjamin kebenaran tanda tangan dari penjual dalam perdagangan surat wesel atau surat-surat berharga lainnya yang tercantum dalam surat-surat tersebut
d) Hak
Dalam pasal 68 K.U.H.D disebutkan bahwa pembukuan seorang makelar mempunyai kekuatanm pembuktian khusus dan sempurna. Dan sebagai seorang yang diangkat pemerintah makelar mernpunyai hak retentie yaitu hak penahanan. Misalnya hak untuk menahan barang apabila harga barang belum dibayar.
Seorang makelar yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dikenakan sanksi sebagai mana tercantum dalam pasal 71 sampai dengan 73 K.U.H.D. yang meliputi : sehersing/pemecatan dan penggantian kerugian kepada kliennya.
• Pasal 71 K.U.H.D menegaskan bahwa apabila seorang makelar membuat pelanggaran terhadap kewajiban yang ditetapkan menurut UU, la oleh Pengadilan Negeri ditempat tinggalnya atau atas permintaan kliennya dapat di schor atau dicabut jabatannya.
• Pasal 72 K.U.H.D : dalam hal ini yang bersangkutan jatuh pailit maka ia dapat di schor dati Jabatannya yang oleh Pengadilan Negeri (PN) dapat dilanjutkan dengan pemecatan.
• Pasal 73 K.U.H.D. : seorang makelar yang telah dilepas dari jabatannya sekati-kati tidak boleh diangkat kembali dalam jabatan itu


3) Komisioner
a) Pengertian
Komisioner adalah perantara dagang yang tidak perlu mengangkat sumpah di muka Pengadilan dan dapat membuat perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri dengan mendapatkan upah tertentu yang disebut provisi atau komisi. Menurut pasal 76 K.U.H.D, maka seorang komisioner dirumuskan sebagai orang yang melakukan tindak perusahaan untuk mengadakan persetujuan atas perintah dan perhitungan orang lain yang disebut komiten, akan tetapi persetujuan itu tidak dilakuakn atas komitennya, melainkan atas namanya sendiri atau firmanya dan dengan ini, menerima upah yang disebut provisi atau komisi. Apabila seorang komisioner mengadakan pernbelian atau penjualan maka ia sendiri yang terikat pada perjanjian tersebut dan ia yang berhak menagih uang penjualan. Komiten dalam hal ini tidak mempunyai hak menagih sama sekali, walaupun hal itu dilakukan atas perintah dan untuk kepentingan komitennya.
b) Dasar Hukum
Pasal 76 K.U.H.D
c) Tugas/Kewajiban
• Menerima, menyimpan dan mengasuransikan barang-barang milik prinsipalnya.
• Membayar ongkos-ongkos pengurusan barang-barang tersebut diatas.
• Membeli atau menjual barang-barang tersebut yang telah ditentukan batas harga terendah dan tertinggi oleh prinsipalnya.
• Menagih pendapatan penjual dan mengirimkan perhitungan kepada prinsipalnya.
• Membayar “netto proven” yaitu pendapatan kotor setelah dipotong ongkos dan komosi pada prinsipalnya.
d) Hak
• Memepunyai hak privilege (didahulukan) untyuk menuntut uang yang telah dibayarlebih dahulu, bunga-bunga dan provisi.
• Mempunyai hak menuntut terhadap perikatan yang sedang berjalan baik atas barang-barang yang telah dikirimkan oleh pemberi kuasa untuk dijual atau untuk disimpan maupun yang telah dibeli dan diterima olehnya atas tanggungan pemberi kuasa.
• Memepunyai hak retensi, yaitu hak untuk menahan barang bila provisi dab biaya-biaya lain belum dibayar.

4) Ekspeditur
a) Pengertian
Ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan.
b) Dasar Hukum
Pasal 86 - Pasal 89 KUHD.
c) Tugas/Kewajiban
• Membuat catatan-catatan dalam register harian secara berturut-turut tentang sifat dan jumlah barang-barang atau barang-barang dagangan yang harus diangkut, dan bila diminta, juga tentang nilainya.\
• Menjamin pengiriman dengan rapi dan secepatnya atas barang-barang dagangan dan barang-barang yang telah diterimanya untuk itu, dengan mengindahkan segala sarana yang dapat diambilnya untuk menjamin pengiriman yang baik.
• Menanggung kerusakan atau kehilangan barang-barang dagangan dan barang-barang sesudah pengirimannya yang disebabkan oleh kesalahan atau keteledorannya.
• Menanggung ekspeditur perantara yang digunakannya
d) Hak
Memperoleh upah sebagai bayaran atas usahanya.

5) Perusahaan Bank
a) Pengertian
Perusahaan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidur rakyat banyak. Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan secara lebih luas lagi bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas perbankan selalu berkaitan dalam bidang keuangan
b) Dasar Hukum
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998
c) Tugas/Kewajiban
• . Menyerahkan dokumen sebagai berikut:
1. salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian bank.
2. salinan dokumen perizinan bank.
3. surat keterangan tingkat kesehatan bank.
4. surat pernyataan dari Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham bank
• Membayar kontribusi kepesertaan.
• Membayar premi penjaminan
d) Hak
Membeli penempatan deposito nasabah menggunakan mata uang alternatif dengan nilai tukar mata uang yang telah ditetapkan sebelumnya.




Persamaaan dan perbedaan antara (agen perniagaan, makelar, komisioner, ekspeditur dan perusahaan bank)
 Persamaaan
• Orang-orang yang sama-sama yang tidak langsung bekerja pada pengusaha
• Memepunyai kepentingan yang jelas yaitu mencari sutu keuntungan atau laba
• Bergerak di bidang jasa
 Perbedaan
• Agen perniagaan
Agen Perniagaan (komersil agent) adalah seorang atau suatu perusahaan yang bertindak sebagai penyalur untuk menjualkan barang-barang keluaran perusahnaan lain umumnya perusahnaan luar negeri dengan siapa ia mempunyai hubungan tetap. Seorang agen perniagaan selalu bertindak atas nama pengusaha dan juga mewakili pengusaha maka disini juga ada hubungannya pemberi kuasa
• Makelar
Makelar adalah pedagang perantara dalam jual beli baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diikat oleh pejabat yang berwenang dan terlebih dahulu harus mengangkat sumpah di Pengadilan Negeri sebelum diperbolehkan melakukan pekerjaannya. Upah dari seorang Makelar yang jujur disebut provisi.
• Komisioner
Komisioner adalah perantara dagang yang tidak perlu mengangkat sumpah di muka Pengadilan dan dapat membuat perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri dengan mendapatkan upah tertentu yang disebut provisi atau komisi.
• Ekspeditur
Ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan.
• Perusahaan Bank
Perusahaan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidur rakyat banyak.

Sintak strategi pembelajaran discovery

Sintak strategi pembelajaran discovery
Disini bimbingan guru bukanlah semacam resep yang harus dlikuti tetapi hanya merupakan arahan tentang prosedur kerja yang diperlukan. Carin (1993) memberi petunjuk dalam merencanakan dan menyiapkan pembelajaran penemuan sebagai berikut:
A. Menentukan tujuan yang akan dipelajari oleh siswa.
(1) Memilih metode yang sesuai dengan kegiatan penemuan.
(2) Menentukan lembar pengamatan data untuk siswa.
(3) Menyiapkan alat dan bahan secara lengkap.
(4) Menentukan dengan cermat apakah siswa akan bekerja secara individu atau secara berkelompok yang terdiri dari 2 sampai 5 siswa.
(5) Mencoba terlebih dahulu kegiatan yang akan dikerjakan oleh siswa.

Untuk mencapai tujuan di atas maka guru harus menyarankan hal-hal di bawah ini:
(1) Membantu siswa untuk memahami tujuan dan prosedur kegiatan yang harus dilakuka.
(2) Memeriksa bahwa semua siswa memahami tujuan dan prosedur kegiatan yang harus dilakukan.
(3) Menjelaskan pada siswa tentang cara bekerja yang aman.
(4) Mengamati setiap siswa selama mereka melakukan kegiatan.
(5) Memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk mengembalikan alat dan bahan yang digunakan.
(6) Melakukan diskusi tentang kesimpulan untuk setiap jenis kegiatan.

Pendekatan discovery harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan kerumitannya. Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan discovery dengan melalui 5 fase ialah:
Fase 1 : Siswa menghadapi masalah yang dianggap oleh siswa memberikan tantangan untuk diteliti. Maksudnya siswa diberikan kebebasan didalam mencari dan menentukan permasalah sendiri atau menemukan permasalahan dimasyarakat untuk diteliti besama teman kelompoknya, yang nantinya bisa memecahkannya masalah tersebut dengan berdiskusi.
Fase 2 : Siswa melakukan pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi. Maksudnya didalam siswa memecahkan suatu pemasalahan, siswa tesubut itu harus mencari informasi dan mengumpulkan data lewat observasi kelapangan atau pun wawancara dengan narasumber yang bersangkutan, baru bisa melakukan penujian terhadap suatu masalah.
Fase3 : Siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis dan bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat. Maksudnya disini setelah siswa mandapat informasi dan sudah mendapat data, selajutnya siswa harus memisahkan atau memilah-memilah data yang relevan dengan pemasalahan yang ingin pecahkan, untuk melakukan eksperimen untuk menguji kebenaran hipotesis.
Fase 4 : Merumuskan penemuan hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal. Maksudnya disini setelah siswa merumuskan masalah dan mendapat sebuah penemuan yang baru, penemuan tersebut bisa diperjelas dalam bentuk makalah dan yang lainnya.
Fase 5 : Melakukan analisis terhadap proses discovery, strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat. Maksudnya adalah setelah siswa selesasi mengadakan atau memecahkan masalah, disini guru dan siswa bersama-sama menganalisa bagaimana proses discovery tersebut, dan guru sifatnya melurusankan dan memberikan penjelasan hal-hal yang kurang maupun yang salah dengan demikain siswa dapat belajarnya dengan baik dan terarah.

Hubungan antara kegelisahan dan kebudayaan dalam kehidupan manusia

Hubungan antara kegelisahan dan kebudayaan dalam kehidupan manusia
Kegelisahan berasal dari kata “gelisah”. Gelisah artinya rasa yang tidak tenteram di dalam hati atau sealu merasa khawatir, tidak dapat tenang (saat tidur), tidak sabaran (ketika menanti), cemas dan sebagainya. Kegelisahan artinya perasaan gelisah, khawatir, cemas, takut dan jijik. Rasa gelisah ini sesuai dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa manusia yang gelisah mudah dihantui rasa khawatir atau takut.
Pada suatu saat dalam kehidupan manusia pasti akan mengalami kegelisahan, hal ini bila tidak cepat diatasi akan dapat menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Kegelisahan yang cukup lama hinggap dalam diri, bisa menyebabkan hilangnya kemampuan dalam merasakan kebahagiaan.
Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia yang semakin modern, akan timbul juga berbagai permasalahan dalam hidup yang menyebabkan timbulnya kegelisahan. Semua ini timbul, akibat kebutuhan hidup yang meningkat, rasa individualistis Dalam konteks budaya, dapat dikatakan timbulnya kegelisahan sebagia akibat dari instink manusia untuk berbudaya, yaitu sebagai suatu cara untuk mencari “kesempurnaan”. Atau dari sisi batiniah manusia, gelisah sebagai akibat noda dosa pada hati manusia. Dan tidak jarang akibat kegelisahan seseorang, sekaligus membuat orang lain menjadi korbannya.
Alasan mendasar mengapa manusia gelisah ialah karena manusia memiliki hati dan perasaan. Bentuk kegelisahannya berupa keterasingan, kesepian, dan ketidakpastian. Perasan-perasaaan semacam ini silih berganti dengan kebahagiaan, kegembiraan dalam kehidupan manusia. Perasaan seseorang yang sedang gelisah, ialah hatinya tidak tenteram, merasa khawatir, cemas, takut, jijik, dan sebagainya. Perasaan cemas menurut Sigmund Freud ada tiga macam, yaitu:
1. Kecemasan Objektif, dimana kegelisahan ini mirip dengan kegelisahan terapan seperti contohnya ketika seorang anak belum juga pulang sekolah, padahal sudah lewat waktunya, ketika ibu sedang sakit keras, dan lain-lain
2. Kecemasan Neurotik (saraf), kecemasan ini timbul akibat pengamatan tentang bahaya dari naluri. Contohnya ketika hidup dalam lingkungan yang baru, kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan itu, rasa takut yang irrasional, rasa gugup, dan sebagainya.
3. Kecemasan Moral, yang muncul dari emosi diri sendiri seperti perasaan iri, dengki, dendam, hasud, marah, sombong, rendah diri, dan sebagainya.

Cara mengatasi kegelisahan pertama-tam adalah harus dimulai dari diri sendiri, yaitu kita harus bisa bersikap tenang. Dengan sikap tenang kita dapat berpikir tenang, niscaya segala kegelisahan serta kesulitan akan dapat kita atasi. Dengan ketenangan seperti ini, akan mungkin orang yang mengancam kita akan mengurungkan niatnya. Contohnya : Ketika di tengah jalan ada seseorang berniat jahat kepada kita menodongkan senjata tajam, dia akan semakin berani mengamcam ketika melihat kita gemetaran dan ketakutan. Namun bila kita menghadapinya dengan tenang, dan berani, tentu orang yang mengarahkan senjata kepada kita mungkinakan gentar dan mengurungkan niatnya.
Di dalam ajaran agama, salah satu cara untuk mengatasi kegelisahan adalah manusia diperintahkan untuk selalu meningkatkan iman, taqwa, amal saleh, dan ibadah kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan, makahati gelisah manusia akan hilang sedikit demi sedikit. Yang dimaksud mendekatkan diri dengan Tuhan disini adalah tidak melulu hubungan vertikal dengan Tuhan, tapi juga harus disertai dengan hubungan vertikal dengan sesama manusia dan juga lingkungan. Contohnya : ketika kita sedang mengalami suatu masalah yang pelik, saat ada salah satu anggota keluarga yang sakit keras namun tidak sembuh-sembuh maka satu-satunya tempat kita memohon kesembuhan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mendekatkan diri kepada Tuhan disertai berbagai uaha untuk mendapat kesembuhan maka diri kita akan ikhlas dalam menerima segal cobaan dan apapun yang terjadi nantinya.

Hubungan antara keyakinan dan kebudayaan dalam kehidupan manusia

Hubungan antara keyakinan dan kebudayaan dalam kehidupan manusia
Keyakinan berasal dari kata yakin, artinya meyakini atau mempercayai dan mengakui kebenaran yang sejati. Keyakinan adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran. Keyakinan juga merupakan sebuah kebenaran yang hakiki yang berasal dari Tuhan dan tidak dapat dihindari keberadaannya.
Sebagai warga negara Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila, kita harus selalu menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan dalam pasal 29 ayat 2 juga disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu“. Karena itu tiap-tiap orang wajib menerima dan menghormati berbagai keyakinan yang ada dan menghargai setiap perbedaan.
Kepercayaan dalam agama merupakan keyakinan yang paling besar. Yang dimaksud “beragama” disini adalah setiap orang dibebaskan untuk memilih dan meyakini agama yang mereka anut dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Karena itu Indonesia tidak mengakui atheis. Sesuai dengan salah satu konsep Tri Hita Karana yaitu Parahyangan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, maka manusia dituntut untuk selalu berbakti dan beribadah. Beribadah artinya menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dengan pengetahuan ini diharapkan manusia Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya tidak hanya sekedar mengaku berTuhan, melainkan harus pula mewujudkan pengakuannya itu dengan tindakan atau perilaku yang nyata. Hal ini terwujud adalam konsep Tri Hita Karana yaitu Pawongan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan Palemahan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Karena beribadah dalam arti luas juga berbuat baik, yang tidak hanya baik bagi diri dan keluarganya, melainkan juga bagi manusia dan alam di sekitarnya.
Keyakinan di sini lebih kami spesifikan kepada agama. Secara umum, agama dinyatakan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan ingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem nilai, karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut bersumber pada etos dan pandangan hidup. Karena itu aturan-aturan yang ada dalam agama bersifat normative, atau yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan. Dengan demikian nilai-nilai agama merupakan salah satu sumber nilai dari system nilai budaya.
Sama halnya dengan kebudayaan, yaitu berbagai model pengetahuan manusia, dimaksudkan sebagai peta kognitif dalam berperilaku di masyarakat. Disamping itu, agama juga menekankan kepada adanya keteraturan social dalam masyarakat. Dalam beberapa kebudayaan, ajaran-ajaran agama yang terutama menjadi model pengetahuan yang dijadikan pegangan dalam memahami dan menanggapi lingkungan yang dihadapi serta bagi perwujudan kelakuan dan tindakannya.
Jadi, hubungan antara keyakinan dan kebudayaan, sangat jelas bila diacu konsepsi keyakinan/agama sebagai sistem simbol yang berfungsi untuk menanamkan semangat dan motivasi yang kuat, mendalam, dan bertahan lama dengan menciptakan konsepsi-konsepsi yang bersifat umum tentang eksistensi, dan membungkus konsepsi-konsepsi itu sedemikian rupa dalam suasana faktualitas sehingga suasana dan motivasi itu terlihat sangat realistis. Dari definisi trersebut, dapat dilihat bahwa pada hakekatnya keyakinan/agama adalah sama dengan kebudayaan, yaitu suatu system atau symbol pengetahuan yang menciptakan, menggolongka-golongkan, meramu/merangkai, dan menggunakan symbol-simbol untuk berkomunikasi dan untuk menghadapi lingkungannya, namun symbol-simbol agama ini lebih bersifat suci dari symbol-simbol lainnya. Karena simbol-simbol agama itu bersifat suci, maka digunakan berbagai pranata sosial dalam proses penanganan kenyataan-kenyataan social yang dihadapi oleh manusia.

Kelemahan model pembelajaran kooperatif

Kelemahan model pembelajaran kooperatif

Muhammad Faiq Dzaki

Kelemahan model pembelajaran kooperatif yaitu:
a. Guru khawatir bahwa akan terjadi kekacauan dikelas. Kondisi seperti ini dapat diatasi dengan guru mengkondisikan kelas atau pembelajaran dilakuakan di luar kelas seperti di laboratorium matematika, aula atau di tempat yang terbuka.
b. Banyak siswa tidak senang apabila disuruh bekerja sama dengan yang lain. Siswa yang tekun merasa harus bekerja melebihi siswa yang lain dalam grup mereka, sedangkan siswa yang kurang mampu merasa minder ditempatkan dalam satu grup dengan siswa yang lebih pandai. Siswa yang tekun merasa temannya yang kurang mampu hanya menumpang pada hasil jerih payahnya. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan sebab dalam model pembelajaran kooperatif bukan kognitifnya saja yang dinilai tetapi dari segi afektif dan psikomotoriknya juga dinilai seperti kerjasama diantara anggota kelompok, keaktifan dalam kelompok serta sumbangan nilai yang diberikan kepada kelompok.
c. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan kelompok. Karakteristik pribadi tidak luntur hanya karena bekerjasama dengan orang lain, justru keunikan itu semakin kuat bila disandingkan dengan orang lain.
d. Banyak siswa takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan tersebut. Dalam model pembelajaran kooperatif pembagian tugas rata, setiap anggota kelompok harus dapat mempresentasikan apa yang telah didapatnya dalam kelompok sehingga ada pertanggungjawaban secara individu.

Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang dapat memotivasi belajar siswa dimana kekurangan yang mungkin terjadi dapat diminimalisirkan.

Pegertian Sistem Politik

Pegertian Sistem Politik :

 Sitem politik merupakan berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan masyarakat Negara.
 Sistem politik adalah keseluruhan interaksi yang mengakibatkan terjadinya pembagain yang diharuskan dari nilai-nilai bagi suatu masyarakat.
 Sistem politik sebagai sistem interaksi yang ada dalam masyarakat merdeka yang menjalankan sangsi integrasi dan adaptasi. “Gabriel Almond”
 Sistem politik adalah mekanisme seperangkat fungsi dalam struktur politik dalam hubungan satu sama lain yang menunjukkan suatu proses.
 Sistem Politik adalah berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan (masyarakat/negara).

 Sistem politik adalah pola yang tetap hubungan-hubungan antara manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat tertentu, kontrol, pengeruh, kekuasaan atau wewenang. Menurut ” Robert A. Dahl,”



2. Dari beberapa pengtian sistem politik di atas dapat saya simpulkan, bahwa pengertian system politik adalah seperangkat kegiatan yang mengenai atau menyangkut interaksi yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, didalam didalam hal memperebutkan kekuasaan dan mempertahankan sebuah kekuasaan.

FORMAT PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS

FORMAT PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(CLASSROOM ACTION RESEARCH)

A. JUDUL PENELITIAN
Judul penelitian hendaknya singkat dan spesifik tetapi cukup jelas mewakili gambaran tentang masalah yang akan diteliti dan tindakan yang dipilih untuk menyelesaikan atau sebagai solusi terhadap masalah yang dihadapi
B. BIDANG ILMU
Tuliskan bidang ilmu (Jurusan) dari Ketua Peneliti.
C. PENDAHULUAN
Penelitian dilakukan untuk memecahkan permasalahan pendidikan dan pembelajaran. Dalam pendahuluan kemukakan:
1. Latar belakang masalah secara jelas dan sistematis, yang meliputi: (a) Uraian tentang kedudukan mata kuliah dalam kurikulum (semester, mata kuliah yang ditunjang dan mata kuliah penunjang); (b) Gambaran umum isi mata kuliah tersebut termasuk pembagian waktunya (lampirkan Analisis Instruksional, SAP, GBPP dari mata kuliah yang bersangkutan); (c) Metode pembelajaran yang digunakan saat ini.
2. Masalah yang dihadapi ditinjau dari hasil belajar yang dicapai mahasiswa
D. PERUMUSAN MASALAH
Rumuskan masalah penelitian dalam bentuk suatu rumusan penelitian tindakan kelas. Dalam perumusan masalah dapat dijelaskan definisi, asumsi, dan lingkup yang menjadi batasan penelitian. Rumusan masalah sebaiknya menggunakan kalimat tanya dengan mengajukan alternatif tindakan yang akan diambil dan hasil positif yang diantisipasi.
Kemukakan secara jelas bahwa masalah yang diteliti merupakan sebuah masalah yang nyata terjadi di kelas, penting dan mendesak untuk dipecahkan. Setelah didiagnosis (diidentifikasi) masalah penelitiannya, selanjutnya perlu diidentifikasi dan dideskripsikan akar penyebab dari masalah tersebut.
E. CARA PEMECAHAN MASALAH
Uraikan pendekatan dan konsep yang digunakan untuk menjawab masalah yang diteliti, sesuai dengan kaidah penelitian tindakan kelas (yang meliputi: perencanaan-tindakan-observasi/evaluasi-refleksi, yang bersifat daur ulang atau siklus). Cara pemecahan masalah telah menunjukkan akar penyebab permasalahan dan bentuk tindakan (action) yang ditunjang dengan data yang lengkap dan baik.
F. TINJAUAN PUSTAKA
Uraikan dengan jelas kajian teori dan pustaka yang menumbuhkan gagasan yang mendasari penelitian yang akan dilakukan. Kemukakan teori, temuan dan bahan penelitian lain yang dipahami sebagai acuan, yang dijadikan landasan untuk menunjukkan ketepatan tentang tindakan yang akan dilakukan dalam mengatasi permasalahan penelitian tersebut. Uraian ini digunakan untuk menyusun kerangka berpikir atau konsep yang akan digunakan dalam penelitian. Pada bagian akhir dikemukakan hipotesis tindakan yang menggambarkan tingkat keberhasilan tindakan yang diharapkan/diantisipasi.
G. TUJUAN PENELITIAN
Kemukakan secara singkat tujuan penelitian yang ingin dicapai dengan mendasarkan pada permasalahan yang dikemukakan. Tujuan umum dan khusus diuraikan dengan jelas, sehingga tampak keberhasilannya.
H. KONTRIBUSI HASIL PENELITIAN
Uraikan kontribusi hasil penelitian terhadap kualitas pendidikan dan/atau pembelajaran, sehingga tampak manfaatnya bagi mahasiswa, dosen, maupun komponen pendidikan lainnya. Kemukakan inovasi yang akan dihasilkan dari penelitian ini.
I. METODE PENELITIAN
Uraikan secara jelas prosedur penelitian yang akan dilakukan. Kemukakan obyek, latar waktu dan lokasi penelitian secara jelas. Prosedur hendaknya dirinci dari perencanaan-tindakan-observasi/evaluasi-refleksi, yang bersifat daur ulang atau siklis. Tunjukkan siklus-siklus kegiatan penelitian dengan menguraikan tingkat keberhasilan yang dicapai dalam satu siklus sebelum pindah ke siklus lainnya. Jumlah siklus disyaratkan lebih dari dua siklus.
J. JADWAL PENELITIAN
Buatlah jadwal kegiatan penelitian yang meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan hasil penelitian dalam bentuk bar chart. Jadwal kegiatan penelitian disusun selama 10 bulan.
K. PERSONALIA PENELITIAN
Jumlah personalia penelitian maksimal 3 orang. Uraikan peran dan jumlah waktu yang digunakan dalam setiap bentuk kegiatan penelitian yang dilakukan. Rincilah nama peneliti, golongan, pangkat, jabatan, dan lembaga tempat tugas, sama seperti pada Lembar Pengesahan.
Lampiran-lampiran
1. Daftar Pustaka, yang dituliskan secara konsisten menurut model APA, MLA atau Turabian.
2. Riwayat Hidup Ketua Peneliti dan Anggota Peneliti (Cantumkan pengalaman penelitian yang relevan telah dihasilkan sampai saat ini )
(Penjelasan tentang penelitian car silahkan akses di www.ums.ac.id./qac/ )

Karakter produk hukum sebagai produk politik di Indonesia

Karakter produk hukum sebagai produk politik di Indonesia
Hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai kristalisasi atau formalisasi dari kehendak-kehendak politik saling berinteraksi dan saling bersaingan. Dalam hal ini memfokuskan sorotannya pada politik hukum Indonesia dengan konseptualisasi dan penentuan indikator-indikator tertentu. Dengan demikian adanya hubungan kausalitas antara hukum dengan politik yaitu sebagai berikut :
1. Hukum determinan atas politik dalam artinya bahwa kegaiatn-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk oleh pada aturan-aturan hukum.
2. Politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.
3. Politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat derterminasisinya seimbang antara satu dengan yang lainnya, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum itu ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum (Mahfud, 1998:8).
Adapun karakter produk hukum di Negara Indonesia yaitu :
a. Produk Hukum Responsif/Populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Dengan demikian, produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipatif. Pembangunan hukum responsif ini harus disertakan dengan masyarakat yang responsif pula. Karena pilar utama dari penegakan hukum ada dalam diri masyarakat. Masyarakat responsif adalah masyarakat atau komunitas yang lebih tanggap terhadap tuntutan warganya dan mau mendengarkan keluhan serta keinginan-keingian warganya. Masyarakat jenis responsif ini adalah masyarakat yang dalam mengungkapkan dan menegakkan nilai-nilai sosialnya, tujuan-tujuannya, kepentingan-kepentingannya tidak dilakukan dengan melalui cara paksaan akan tetapi cenderung dilakukan dengan cara penyebarluasan informasi, pengetahuan dan komunikasi. Konsekwensinya, dalam memecahkan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan hankamnya terutama dilakukan dengan cara-cara persuasif dan dengan memberikan dorongan, bukannya unjuk kekuasaan atau bahkan melembagakan budaya kekerasan. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya pembangunan hukum responsif harus diiringi dengan masyarakat responsif.
b. Produk Hukum Ortodoks/Elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan isi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Sehingga proses pembuatan hukum yang berkarakter ortodoks/elitis bersifat sentralistik (Mahfud, 1998: 25).
Menurut Prof. Dr. C. F. G . Sunaryti Hartono, berpendapat bahwa politik hukum Indonesia disatu pihak tidak lepas dari realitas sosial dan tradisional yang terdapat di Indonesia sendiri dan dilain pihak sebagai salah satu anggota masyarakat dunia politik hukum di Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional. Dengan demikian faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi belaka akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum dilain Negara serta perkembangan hukum internasional (Hartono, 1991:1).

HUBUNGAN FAKTA & TEORI

HUBUNGAN FAKTA & TEORI
Hubungan fakta dan teori dapat divisualisasikan sebagai berikut :


Teori memprediksi fakta :
Penyingkatan fakta-fakta yang dilakukan oleh teori akan menghasilkan uniformitas dari pengamatan-pengamatan. Dengan adanya uniformitas maka dapat dibuat prediksi [ramalan] terhadap fakta-fakta yang akan datang dengan kata lain bahwa sebuah fakta baru akan lahir berdasarkan pengamatan fenomena-fenomena sekarang/saat ini.

Teori memperkecil jangkauan:
Fungsi utama dari teori adalah memberikan batasan terhadap ilmu dengan cara memperkecil jangkauan [range] dari fakta yang sedang dipelajari. Dalam dunia empiri banyak fenomena yang dapat dijadikan bahan pencermatan namun untuk pendalaman dan penajaman tertentu diperlukan batasan, sehingga teori berperan membatasi dalam lingkup [aspek] tertentu.

Teori meringkas fakta :
Teori melakukan perannya meringkas hasil penelitian . Melalui sebuah teori generalisasi terhadap hasil penelitian mudah dilakukan. Teori dengan mudah memberikan kemampuannya dalam memandu generalisasi-generalaisasi, bahkan teori mampu meringkas hubungan antar generalisasi.

Teori memperjelas celah kosong:
Dengan kemampuannya meringkas fakta – fakta saat ini dan melakukan prediksi, maka teori dapat memberikan petunjuk dan memperjelas kawasan mana yang belum dijangkau ilmu pengetahuan.

Fakta memprakarsai teori :
Terdapat berbagai fakta yang kita dijumpai secara empiri yang mampu melahirkan sebuah teori baru, karena secara tidak langsung fakta sebagai muara terciptanya sebuah teori.
Fakta memformulasikan kembali teori yang ada.
Tidak semua fakta mampu dijadikan teori, tetapi fakta dari hasil pengamatan dapat membuat teori lama menjadi teori baru /dikembangkan menjadi teori baru. Teori harus disesuaikan dengan fakta dengan demikian fakta dapat mengadakan reformulasi terhadap teori.
Fakta dapat menolak teori :
Jika banyak diperoleh fakta yang menujukkan sebuah teori tidak dapat diformulasikan maka fakta berhak menolak teori tersebut.
Fakta memberi jalan mengubah teori :
Fakta mampu memperjelas teori dan mengajak seseorang untuk mengubah orientasi teori . Dengan hadirnya orientasi baru dari teori akan bersekuensi logis pada penemuan fakta-fakta baru.

Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia

2.3 Implementasi Otonomi Daerah di Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak, wewenang dan kewajiban tersebut mencakup kewenangan pemerintah daerah dengan seluruh potensi daerah untuk menyelenggarakan urusan dibidang pemerinthan. Pelaksanaan kewenangan tersebut didasarkan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keaneka ragaman daerah. Berdasarkan prinsip tersebut, otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan dengan dasar otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Seiring dengan prinsip tersebut penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu menjamin keserasian hubungan antar daerah dan pemerintah pusat. Otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks Negara kesatuan. Artinya pemberian otonomi luas kepada daerah tidaklah sama dengan federalisme atau system Negara bagian seperti di Negara Amerika Serikat.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu adanya partispasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam otonomi daerah merupakan wujud tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan daerah dan bangsanya. Wujud tanggung jawab tersebut dapat dilakukan dengan mendukung, mengkritik, memberikan masukan yang inovatif (baru) dan kreatif termasuk mengontrol setiap kebijakan pembangunan di daerah. Dengan kerjasama yang baik antara pemerintah daerah, rakyat dan dunia usaha Negara, kesejahteraan masyarakat yang menjadi cita-cita otonomi daerah dapat terwujud.

Golput hambat demokrasi

Golput hambat demokrasi
FENOMENA golput pada masa demokrasi di Indonesia semakin banyak terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam event politik seperti dalam pilkada. Contoh konkretnya adalah dalam pilgub di Jawa Tengah, di mana golput menduduki posisi tertinggi pada quick count LSI, yaitu mencapai 45,50 persen.
Awalnya, istilah golput muncul sebulan sebelum Pemilu 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 di Gedung Balai Budaya, Jakarta. Aktivis politik Arief Budiman didampingi Julius Usman, Imam Waluyo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, dan sejumlah aktivis lainnya mendeklarasikan sebuah gerakan moral yang diberi nama golongan putih atau yang biasa disebut dengan golput.
Di bawah rezim baru yang dipimpin Soeharto, deklarasi gerakan ini tergolong nekad. Namun ketidakpuasan para aktivis terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan parpol memang sudah tak bisa dibendung. Ketentuan UU yang notabene dibentuk untuk memangkas munculnya parpol baru ini dinilai menghambat gerak demokrasi. Para pendiri berpendapat, golput bukan organisasi, melainkan gerakan kultural untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak asasi politik masyarakat.
Maklumat golput ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi baru penyelenggaraan pemilu, yang digambarkan mulai mengintimidasi rakyat supaya memilih Golkar. Mantan aktivis golput Jopie Lasut bertutur, cara orang bersikap golput adalah merusak kertas suara atau tinggal di rumah pada saat pemilu berlangsung.
Deklarasi gerakan yang mengusung logo segi lima dengan warna dasar putih ini memancing pro dan kontra. Para aktivis dari lembaga demokrasi seperti Adnan Buyung Nasution dan HJC Princen memberikan suara dukungan pada gerakan ini, bahkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu Soebchan ZE juga menyatakan simpatinya.
Suara menentang justru muncul dari Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis. Mochtar menyebut gerakan Arief dan kawan-kawan naif. Mayor Jenderal Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, juga berkomentar senada. Bahkan ia mengumpamakan golput seperti (maaf) kentut, baunya tercium tapi bentuknya tak terlihat.
Meski dinilai naif, deklarasi golput pada saat itu tak urung membuat gerah pemerintahan Soeharto. Beberapa hari setelah deklarasi, sebanyak 34 aktivis yang gencar mengampanyekan golput ditahan. Namun penangkapan ini sama sekali tak menyurutkan perlawanan. Pasca 1971, gerakan golput masih punya pengikut. Kampanye terhadap gerakan ini cukup gencar menjelang Pemilu 1977, 1982, dan 1987. Pada Pemilu 1992, kampanye Golput bahkan meluas di berbagai kampus dan masih berlajut sampai sekarang. Mengapa?
Banyak alasan mengapa masyarakat lebih memilih golput daripada memilih salah satu calon kandidat. Paling tidak ada empat alasan mendasar untuk memilih golput, yaitu pertama, masyarakat jenuh karena terus-menerus terlibat dalam pemilihan pejabat politik. Misalnya seperti yang terjadi di Banyumas. Dalam kurun waktu tak lebih dari satu tahun, terdapat tiga kali event pilkada seperti ini, yaitu pilkades, pilbup, dan pilgub.
Alasan kedua, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan janji-janji yang diusung oleh kader partai politik tersebut. Alasan ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Pilkada hanya dijadikan ajang untuk perebutan kekuasaan semata tanpa usaha untuk merealisasikan janji-janji yang diusung pada kampanye. Hal ini juga yang menyebabkan munculnya alasan pertama di dalam diri masyarakat.
Ketiga, belum optimalnya pendidikan politik masyarakat. Masyarakat kita terbiasa dengan sistem politik yang feodal pada zaman Orde Baru, yang tak biasa berpartisipasi dalam sistem pemerintahan. Melihat realita yang seperti ini, sebaikanya pemerintah menyosialisasikan pentingnya pemilu kepada masyarakat.
Faktor keempat yakni persoalan teknis, misalnya pindah tempat sehingga namanya tidak terdata di tempat baru atau terdapat masyarakat yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Selain alasan yang disebut diatas, proximity juga menjadi alasan orang untuk memilih golput. Dalam pilgub Jawa tengah, adanya jarak yang jauh antara si pemilih dengan calon kandidat dalam pilgub, membuat pemilih kurang mengenal calon gubernur. Berbeda dengan pilkades, yang memiliki kedekatan antara calon kandidat dengan pemilih, yang dapat menekan tingginya jumlah golput.
Di samping itu, tingginya golput di Pilgub Jawa Tengah dipengaruhi oleh sosialisasi mengenai visi dan misi calon kandidat yang tidak merata, sehingga masyarakat kurang mengenal calon pemimpin rakyat Jawa Tengah. Kesadaran Masyarakat dan Tim Sukses Dalam ajang seperti ini, meningkatnya jumlah golput tampak tidak wajar dan dapat menghambat terwujudnya pemerintahan yang berlandaskan demokrasi. Namun, demokrasi di Indonesia sendiri juga tidak memaksa rakyatnya untuk menggunakan hak pilihnya. hf Meli Anelgi Dianti, dkk Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED

golput pada pemilu 2009

Pemilu 2009
Tingginya angka golput pada hampir seluruh pilkada di Indonesia itu, potensial terjadi lagi pada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden 2009. Jeirry melihat, proses pendaftaran pemilih untuk pemilu 2009 tidak beda dengan proses pendataan pemilih dalam pilkada di berbagai daerah itu. KPU mendasarkan diri pada data yang diserahkan pemerintah. Sementara data itu tidak valid. Padahal, data pemerintah itu menjadi penentu valid-tidaknya data pemilih sementara dan pemilih tetap yang akan dibuat KPU.
"Kalau kita tanya ke KPU, mereka bilang data yang diterima dari Depdagri tidak valid. Tetapi kan KPU kita ini tidak mau ngomong itu ke publik," kata Jeirry.
Belum lagi sosialisasi KPU tentang pendaftaran pemilih, sampai saat ini masih sangat sepi. Tidak ada gaungnya sama sekali. Masyarakat tidak mendapat informasi sepotong pun tentang bagaimana, di mana, dan kapan masyarakat harus mendaftarkan diri sebagai pemilih untuk Pemilu 2009. Padahal, pengumunan DPS tidak lama lagi diumumkan. "Nah, coba kita tanya masyarakat, siapa yang tahu sedang melakukan pendataan pemilih, pasti tidak ada yang tahu. Apalagi sosialisasi KPU tidak ada sama sekali. Sementara waktu perbaikan DPS oleh masyarakat hanya satu minggu," tuturnya.
Dengan dua fakta itu saja, baik Jeirry maupun Mulyana, menyimpulkan bahwa angka golput pada pemilu 2009 akan sangat tinggi. Kecuali, kalau KPU cepat sadar dan segera membenahi sistem pendataan pemilih dan mengintensifkan sosialisasi. Bila masih seperti saat ini, kesimpulan seperti itu akan valid.
Senada dengan mereka, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Imam Suprayogo memprediksi golput akan mencapai lebih dari 35 persen pada Pemilu 2009, jika semua pihak tidak menyosialisasikan pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Sosialisasi itu bukan hanya dengan berpidato, namun dengan teladan. "Kalau mayoritas rakyat merasa pemilu itu memilih pejabat, dapat diprediksi golput akan menggelembung, karena mereka merasa aneh, pejabat kok dipilih. Beda lho kalau rakyat diminta memilih pemimpin. Tanpa diminta, mereka pasti datang berbondong-bondong, karena mereka memang butuh pemimpin, bukan butuh pejabat," ujarnya.
Untuk menekan golput, semua pihak, baik pemerintah, KPU, partai politik, serta seluruh elemen masyarakat sipil, harus bekerja keras. KPU harus gencar melakukan sosialisasi dam memastikan bahwa semua pemilih sudah terdaftar dalam DPS. Karena itu, KPU jangan lagi menggunakan sistem daftar pemilih aktif. Sebab di tengah situasi rakyat yang mengalami kejenuhan politik, sistem seperti itu tidak berjalan. Petugas KPU harus aktif mendatangi masyarakat, kapan dan dimana pun mereka berada.
Selain itu, partai politik juga harus memobilisasi pendukungnya untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Partai politik harus memastikan konstituen dan masyarakat pada umumnya terdaftar sebagai pemilih. Apalagi, dalam undang-undang yang baru, diatur bahwa DPS sebelum ditetapkan sebagai DPT harus diserahkan ke partai politik peserta pemilu. Dengan aturan seperti itu diharapkan, bila dalam DPS ada konstituen partai yang belum terdaftar, partai politik bersangkutan segera melapor ke petugas KPU untuk kemudian didaftarkan sebagai pemilih. Apalagi, pengurus partai politik itu ada sampai tingkat kecamatan.
Hanya dengan memperbaiki DP4, sosialisasi yang gencar, mengubah sistem pendaftaran pemilih oleh KPU, pendidikan politik dan mobilisasi masyarakat dan konstituen oleh partai politik peserta pemilu serta oleh berbagai elemen masyarakat sipil lainnya agar terdaftar sebagai pemilih, maka partisipasi pemilih pada Pemilu 2009 bisa meningkat, dibanding pilkada-pilkada di seluruh Indonesia, terutama pilkada di Jawa. Usaha-usaha seperti itu diharapkan mampu menggairahkan masyarakat terlibat dalam pesta demokrasi paling akbar, sekaligus dapat menekan angka golput pada Pemilu 2009. Semoga. *

Minggu, 28 Maret 2010

Pengertian Otonomi Daerah dan Wawasan Nusantara

2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah
Kata “otonom” berasal dari bahasa yunani yaitu auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan. Sementara itu, daerah adalah wilayah atau lingkungan pemerintahan. Dengan demikian secara sederhana otonomi daerah berarti hokum atau peraturan yang dibuat untuk mengatur wilayahnya sendiri.
Menurut UU No. 32 tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas dan wewenang mengatur serta mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Daerah uraian di atas, hakikat otonomi daerah dapat dijelaskan antara lain sebagai berikut :
1. Daerah mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri. Dalam hal ini, tiap-tiap pemerintah daerah berhak menentukan jumlah, macam, dan bentuk pelayanan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhn daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, antara daerah satu dengan daerah yang lainnya tidak selalu sama. Sebagai contoh, daerah A banyak memiliki seber daya alam, seperti minyak bumi dan batu bara. Sementara itu daerah B tidak memilki sumber daya alam tetepi memeiliki kawasan yang indah. Jadi pemerintah daerah A tentu akan mengurus bidang pertambangan, sedangkan daerah B akan mengembangkan bidang pariwisata.
2. Daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri. Umumnya kewenangan daerah merupakan kewenangan bidang pemerintahan dan nidang yang lainnya diatur dalam peraturan undang-undang. Termasuk didalamnya adalah kewenangan untuk menggali, mengolah dan menggunakan sumber daya daerah, seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan dan sumber daya manusia.
3. Daerah mempunyai kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Setiap daerah memiliki kewajiban untukmembangun dirinya, serta mengusahakan keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.

2.1.2 Wawasan Nusantara
Setiap bangsa mempunyai Wawasan Nasional ( National outlook ) yang merupakan visi bangsa yang bersangkutan menuju ke masa depan. Kehidupan berbangsa dalm suatu bangsa memerlukan suatu konsep cara pandang atau wawasan national yang bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa dan wilah serta jati diri bangsa itu. Bangsa yang dimaksud di sini adalah bangsa yang menegara ( nation state ). Adapun wawasan nasional bangsa Indonesia dikenal denan Wawasan Nusantara.
Istilah wawasan berasal dari kata ‘ wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan, atau pengelihatan indrawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’ yang berari memandang, meninjau, atau melihat. Sedangkan kata ‘wawasan’berarti cara pandang, cara meninjau atau cara melihat. Sedangkan nusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti pulau-pulau, dan ‘antara’ yang berarti diapit di antara dua hal. Istilah nusantara dipakai untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indinesia yang terletak diantara samudra Pasifik dan samudra Indonesia serta benua Asia dan benua Australia.
Secara umum wawsan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar filsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi goegrafi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Sedangkan wawasan nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesian tentang dirinya dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UU 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nueantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Dengan demikian Wawasan Nusantara berperan untuk membimbing bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan kehdupannya serta sebai rambu-rambu dalam pejuangan mengisi kemerdekaannya. Selain Wawasan Nusantara sebagai cara pandang juga mengajarkan bagaimana pentingnya membina persatuan dan kesatuan dalam segala aspek kehidupan bangsa dan Negara dalam mencapai tujuan dan cita-cita.

Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana

Asas non-retroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1): “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moelyatno, cetakan kedua puluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-Undang RI tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut; “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin, tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas. Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang berarti ‘kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang’. Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal adalah criminal stellionatus (perbuatan durjana /jahat).
Dalam sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana. Dari sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya, berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus) -- di samping menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting untuk menetapkan tanggung jawab pidana.
Bila suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang, tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut ke muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteitbeginsel atau Principle of Legality.



Tugas
Asas Legalitas, terkandung dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.
Hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang.
Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut berisi dua hal :
a. suatu tindak pidana/delik harus dirumuskan didalam peraturan undang-undang;
hal ini berakibat bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang tidak dapat disebut sebagai delik dan tidak dapat dipidana; jadi sesuai asas tersebut, hukum yang tidak tertulis tidak dapat diterapkan; tetapi ada pengecualian untuk hukum pidana adat yang tidak tertulis, yang masih juga harus diperhatikan UU No. 1/Drt/1951. ada konsekuensi lain, yaitu ada pendapat bahwa dalam pidana terdapat larangan penggunaan analogi, yaitu membuat perbuatan yang tidak tercantum secara tegas dalam undang-undang tetapi ada kemiripannya, dijadikan/dianggap sebagai tindak pidana/delik. Tentang analogi akan dibicarakan dibawah.
a. peraturan undang-undang itu harus ada sebelum tindak pidana/delik terjadi. Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat dijatuhi hukuman jika perbuatannya itu telah ada/telah disebut didalam KUHP. Jadi menurut pasal 1 ayat (1) Jika orang dituduh melakukan sesuatu kejahatan, akan tetapi kemudian terbukti, bahwa perbuatannya itu tidak terdapat dalam KUHP, maka si tersangka tadi dibebaskan dari tuduhannya tersebut, dan dia tidak dijatuhi hukuman.
Hal ini oleh anselm von feuerbach dirumuskan sbg berikut :
“Nulla poena sine lege
Nulla poena sine crimine
Nullum Crimen sine poena legali”
“Tidak ada hukuman, kalau tidak ada undang-undang,
Tidak ada hukuman, kalau tidak ada kejahatan,
Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan undang-undang.”
Dari pasal 1 ayat (1) ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :
1. hukum pidana itu mencegah adanya penjatuhan hukuman secara sewenang-wenang oleh pengadilan(hakim).
2. dapat dicapai kepastian hukum.
3. hukum pidana itu bersumber pada hukum tertulis.


Kamis, 25 Maret 2010

Rabu, 24 Maret 2010

gambar tribal

foto cowok keren

download mp3 hits indo
m.goal.com info bola terupdate

gambar tribal

gambar tribal

Sabtu, 20 Maret 2010

makalah demokrasi

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Setiap pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif, Pilpres ataupun pemilu kepala daerah (Pilkada) selalu diwarnai dengan munculnya golongan putih atau Golput. Entah kenapa golongan yang satu ini selalu menjadi ‘’sosok’’ yang mengkhatirkan dan menakutkan. Disebut mengkhawatirkan karena golongan ini dinilai ‘’sosok’’ yang tidak mendukung pesta demokrasi yang sudah berjalan puluhan di negeri ini.

Pada Pilkada di sejumlah daerah Golput dinilai sebagai pemenang pilkada. Di Jawa Timur contohnya, jumlah Golput mencapai 40,42 persen. Sedangkan pada pilkada Sumatera Utara jumlah Golput terus meningkat mencapai 43 persen. Golput mencatat angka terbesar pada pilkada di Kalimantan Timur yang mencapai 50persen. Terlepas dari siapa sebenarnya sosok Golput tersebut, ada baiknya kita mempertanyakan kembali kenapa banyak warga yang enggan menyukseskan pilkada? Jawabannya tentu beragam. Yang paling general adalah bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.
Bagi pemerintah dan penyelenggaran pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.
Pada pemilu mendatang tentu saja pemerintah berharap jumlah Golput bisa terus menipis. Namun harapan itu tentunya mesti dibarengi dengan sikap pemerintah yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Jika rakyat masih merasa curiga dengan banyaknya pelanggaran dalam pemilu atau pilkada maka tidak heran jika mereka akan terus bersikap apatis terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut.


1.2 Rumusan malasah
Dari latar belakang diatas dapat penulis rumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana sejarah munculnya dari Golongan Putih ( Golput ) itu sendiri ?
1.2.2 Faktor-fakor terjadinya Golongan Putih ( Golput ) dimasa pemerintahan demokrasi?
1.2.3 Bagaiman perkembangan Golongan Putih ( Golput ) dimasa pemerintahan demokrasi?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1.3.1 Untuk mengetahui sejarah munculnya Golongan Putih ( Golput )
1.3.2 Untuk menetahui factor-faktor terjadinya golput dimasa pemerntahan demokrasi.
1.3.3 Untuk mengetahui perkembangan Golput dimasa pemerintahan demokrasi.

1.4 Metode Penulisan

Adapun metode yang kami pergunakan dalam penulisan makalah ini yaitu metode diskusi dan metode kepustakaan, dimana kami menggunakan literature-literatur yang berkaitan dengan “Golput di Masa Pemerintahan Demokrasi” dan kemudian kami menyimpulkan dalam bentuk makalah.










BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Sejarah munculnya Golongan Putih ( Golput )
2.1.2 Munculnya Golongan Putih ( Golput )
Setiap menjelang pemilihan umum, masalah golput atau golongan putih muncul kembali. Golput adalah gerakan informal yang menganjurkan masyarakat agar tidak memilih. Dengan alasan yang bermacam-macam.
Awalnya, istilah golput muncul sebulan sebelum Pemilu 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 di Gedung Balai Budaya, Jakarta. Aktivis politik Arief Budiman didampingi Julius Usman, Imam Waluyo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, dan sejumlah aktivis lainnya mendeklarasikan sebuah gerakan moral yang diberi nama golongan putih atau yang biasa disebut dengan golput. Di bawah rezim baru yang dipimpin Soeharto, deklarasi gerakan ini tergolong nekad. Namun ketidakpuasan para aktivis terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan parpol memang sudah tak bisa dibendung. Ketentuan UU yang notabene dibentuk untuk memangkas munculnya parpol baru ini dinilai menghambat gerak demokrasi. Para pendiri berpendapat, golput bukan organisasi, melainkan gerakan kultural untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak asasi politik masyarakat.
Maklumat golput ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi baru penyelenggaraan pemilu, yang digambarkan mulai mengintimidasi rakyat supaya memilih Golkar. Mantan aktivis golput Jopie Lasut bertutur, cara orang bersikap golput adalah merusak kertas suara atau tinggal di rumah pada saat pemilu berlangsung. Deklarasi gerakan yang mengusung logo segi lima dengan warna dasar putih ini memancing pro dan kontra. Para aktivis dari lembaga demokrasi seperti Adnan Buyung Nasution dan HJC Princen memberikan suara dukungan pada gerakan ini, bahkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu Soebchan ZE juga menyatakan simpatinya.
Suara menentang justru muncul dari Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis. Mochtar menyebut gerakan Arief dan kawan-kawan naif. Mayor Jenderal Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, juga berkomentar senada. Bahkan ia mengumpamakan golput seperti (maaf) kentut, baunya tercium tapi bentuknya tak terlihat. Meski dinilai naif, deklarasi golput pada saat itu tak urung membuat gerah pemerintahan Soeharto. Beberapa hari setelah deklarasi, sebanyak 34 aktivis yang gencar mengampanyekan golput ditahan. Namun penangkapan ini sama sekali tak menyurutkan perlawanan. Pasca 1971, gerakan golput masih punya pengikut. Kampanye terhadap gerakan ini cukup gencar menjelang Pemilu 1977, 1982, dan 1987. Pada Pemilu 1992, kampanye Golput bahkan meluas di berbagai kampus dan masih berlajut sampai sekarang.

2.2 Faktor- factor yang menyebabkan terjadinya Golput di masa pemerintahan demokrasi.
2.2.1 faktor-faktor terjadinya Golput

Analisis sementara, ada tiga faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya Golput. Pertama, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan persoalan rice bowle (piring nasi) tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos. Jika analisis ini benar, maka bisa ditarik kesimpulan sementara, persoalan pekerjaan menjadi hal yang lebih utama dibandingkan dengan persoalan politik. Tingkat pemenuh¬an kebutuhan pangan, menjadi lebih dipentingkan dibandingkan dengan persoalan penggunaan hak atau partisipasi dalam dalam kontestasi polotik. Sekali lagi, jika bacaan ini benar, maka kini diam-diam kehidupan politik kita sedang dalam bahaya. Politik dipersepsi hanya menjadi urusan elit belaka dan dianggap tidak ada korelasinya dengan kehidupan sehari-hari. Masyarakat pada satu sisi jenuh, tidak mau terlibat politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan demikian, secara struktural, pemicu tinggi¬nya angka Golput itu tidak lain adalah suatu yang pangkalnya dari kebijakan ekonomi politik secara makro.

Analisis berikutnya menyebutkan bahwa pemicu dari rendahnya tingkat partisipasi masyarakat adalah karena Pilkada kurang greget. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pilkada, dari KPUD sampai kandidat, tidak gencar melakukan sosiali¬sasi tentang Pilkada kepada masyarakat. KPUD sebagai pe¬-nye¬¬¬¬¬¬lenggara Pilkada dianggap kurang maksimal dalam melakukan sosialisasi, demikian halnya dengan peserta Pilkada yang hanya melakukan sosialisasi melalui media yang sangat terbatas. Jadi, Pilkada dimaknai hanya semata-mata hanya hajat elit politik yang ikut kontestasi politik belaka.
Faktor berikutnya, yang dianalisis sebagai biang rendahnya partisipasi politik adalah masalah di seputar kandidat itu sendiri. Pasangan calon dianggap tidak membawa harapan baru yang bisa memacu optimisme masyarakat. Tidak ada angin segar yang ditawarkan oleh pasangan, yang bisa menjadi alasan para pemilih untuk menggunakan suaranya. Jika analisis ini betul, tingginya angka Golput itu bisa dibaca sebagai cermin apatisme politik masyarakat. Pemberian dukungan dalam Pilkada hanya dianggap seba¬gai suatu yang tidak memiliki makna, sebab hanya akan dijadikan sebagai legitimasi politik belaka oleh para peserta, sementara tanggung jawab politiknya untuk mengakomodasi aspirasi pemilih dalam bentuk kebijakan-kebijakan belum tentu akan dijalankan. Prasyarat penting tentang demokrasi yang bisa menjelaskan adalah demokrasi hanya akan berjalan jika sering dengan tingkat kesejahteraan. Tidak ada demokrasi pada negara yang penduduknya miskin. Kemiskinan pada dasarnya merupakan penghalang bagi tumbuh dan berkembangnya sistem dan budaya demokrasi.
Selain itu juga masyarakat jenuh karena terus-menerus terlibat dalam pemilihan pejabat politik. Misalnya seperti yang terjadi di Banyumas. Dalam kurun waktu tak lebih dari satu tahun, terdapat tiga kali event pilkada seperti ini, yaitu pilkades, pilbup, dan pilgub.
Alasan kedua, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan janji-janji yang diusung oleh kader partai politik tersebut. Alasan ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Pilkada hanya dijadikan ajang untuk perebutan kekuasaan semata tanpa usaha untuk merealisasikan janji-janji yang diusung pada kampanye. Hal ini juga yang menyebabkan munculnya alasan pertama di dalam diri masyarakat.
Ketiga, belum optimalnya pendidikan politik masyarakat. Masyarakat kita terbiasa dengan sistem politik yang feodal pada zaman Orde Baru, yang tak biasa berpartisipasi dalam sistem pemerintahan. Melihat realita yang seperti ini, sebaikanya pemerintah menyosialisasikan pentingnya pemilu kepada masyarakat.
Faktor keempat yakni persoalan teknis, misalnya pindah tempat sehingga namanya tidak terdata di tempat baru atau terdapat masyarakat yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Selain alasan yang disebut diatas, proximity juga menjadi alasan orang untuk memilih golput. Dalam pilgub Jawa tengah, adanya jarak yang jauh antara si pemilih dengan calon kandidat dalam pilgub, membuat pemilih kurang mengenal calon gubernur. Berbeda dengan pilkades, yang memiliki kedekatan antara calon kandidat dengan pemilih, yang dapat menekan tingginya jumlah golput.
Di samping itu, tingginya golput di Pilgub Jawa Tengah dipengaruhi oleh sosialisasi mengenai visi dan misi calon kandidat yang tidak merata, sehingga masyarakat kurang mengenal calon pemimpin rakyat Jawa Tengah. Kesadaran Masyarakat dan Tim Sukses Dalam ajang seperti ini, meningkatnya jumlah golput tampak tidak wajar dan dapat menghambat terwujudnya pemerintahan yang berlandaskan demokrasi. Namun, demokrasi di Indonesia sendiri juga tidak memaksa rakyatnya untuk menggunakan hak pilihnya.



2.3 Perkembangan Golput dimasa Pemerintahan Demokrasi

Perkembangan Golput di Indonesia sangat lah pesat, dimana dulu Golput hanyalah sebagaian persen yaitu 10% dari 100% hasil pemilu yang dulu, tetapi pada masa sekarang ini, Golput sedang mulai memarak, dimana kita ketahui, di beberapa daerah banyak masyarakat yang tidak menyukseskan dalam Pildes, Pilbup dan Pilgub. Ini di karenakan bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.
Mungkin kita juga perlu kembali lagi melihat sejarah lahirnya Golput. Golongan ini lahir pada 1971 silam dikarenakan sikap kritis rakyat terhadap pemerintah yang melanggar aturan permainan dalam demokrasi.
Bagi pemerintah dan penyelenggaran pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.
Bisa dikatakan bahwa pada Pilkada di sejumlah daerah Golput dinilai sebagai pemenang pilkada. Di Jawa Timur contohnya, jumlah Golput mencapai 40,42 persen. Sedangkan pada pilkada Sumatera Utara jumlah Golput terus meningkat mencapai 43 persen. Golput mencatat angka terbesar pada pilkada di
Kalimantan Timur yang mencapai 50 persen.
Sama dengan pelaksanaan pilkada di daerah lain, Golput juga hadir pada pilkada di Riau. Menurut hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Golput pada pilkada Riau mencapai 42 persen. Jumlah ini hampir separuh dari jumlah pemilih yang tercatat sebagai pemilih tetap yang jumlahnya mencapai 3,2 juta. LSI berpendapat Golput merupakan pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya pada hari pencoblosan. Pemilih yang tidak mencoblos disebabkan oleh banyak faktor, bisa karena tidak dapat kartu pemilih ataupun pemilih yang punya kartu pemilih namun tidak datang ke TPS karena berbagai alasan.
Penyelenggara pilkada yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Riau tentu saja mengkhawatirkan jumlah Golput ini. Sebelumnya, anggota KPUD Riau Makmur Hendrik menyatakan bahwa Golput di Riau hanya berjumlah 1 persen. Risau dengan angka Golput yang dipaparkan LSI, Makmur pun memaparkan siapa sebenarnya sosok Golput tersebut.
Menurutnya, pemahaman tentang Golput selama ini menyesatkan. Karena semua orang yang tidak memilih disebut Golput. Padahal, kata Makmur diawali oleh sikap segelintir orang pada masa Orde Baru untuk memprotes rezim yang berkuasa pada waktu itu. Protes mereka diwujudkan dengan tidak ikut memilih dalam penyelenggaraan pemilu. Mengacu pada sikap tersebut Makmur menilai sudah jelas siapa yang pantas disebut Golput. Secara sederhana, Golput adalah orang yang tidak memilih karena antisistem dan antirezim.
Pada pemilu mendatang tentu saja pemerintah berharap jumlah Golput bisa terus menipis. Namun harapan itu tentunya mesti dibarengi dengan sikap pemerintah yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Jika rakyat masih merasa curiga dengan banyaknya pelanggaran dalam pemilu atau pilkada maka tidak heran jika mereka akan terus bersikap apatis terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut.























BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
 Munculnya Golongan Putih ( Golput )
Awalnya, istilah golput muncul sebulan sebelum Pemilu 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 di Gedung Balai Budaya, Jakarta. Aktivis politik Arief Budiman didampingi Julius Usman, Imam Waluyo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, dan sejumlah aktivis lainnya mendeklarasikan sebuah gerakan moral yang diberi nama golongan putih atau yang biasa disebut dengan golput.
Di bawah rezim baru yang dipimpin Soeharto, deklarasi gerakan ini tergolong nekad. Namun ketidakpuasan para aktivis terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan parpol memang sudah tak bisa dibendung. Ketentuan UU yang notabene dibentuk untuk memangkas munculnya parpol baru ini dinilai menghambat gerak demokrasi. Para pendiri berpendapat, golput bukan organisasi, melainkan gerakan kultural untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak asasi politik masyarakat.
 Faktor-faktor terjadinya Golput
Analisis sementara, ada empat faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya Golput. Pertama, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan persoalan rice bowle (piring nasi) tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos, selain itu masyarakat jenuh karena terus-menerus terlibat dalam pemilihan pejabat politik.
Alasan kedua, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan janji-janji yang diusung oleh kader partai politik tersebut. Alasan ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat.
Ketiga, belum optimalnya pendidikan politik masyarakat. Masyarakat kita terbiasa dengan sistem politik yang feodal pada zaman Orde Baru, yang tak biasa berpartisipasi dalam sistem pemerintahan.
Faktor keempat yakni persoalan teknis, misalnya pindah tempat sehingga namanya tidak terdata di tempat baru atau terdapat masyarakat yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Selain alasan yang disebut diatas, proximity juga menjadi alasan orang untuk memilih golput.

 Pekembangan Golput pada masa Pemerintahan Demokrasi

Perkembangan Golput di Indonesia sangat lah pesat, dimana dulu Golput hanyalah sebagaian persen yaitu 10% dari 100% hasil pemilu tahun 1951, tetapi pada masa sekarang ini, Golput sedang mulai memarak, dimana kita ketahui, di beberapa daerah banyak masyarakat yang tidak menyukseskan dalam Pildes, Pilbup dan Pilgub. Ini di karenakan bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.
Mungkin kita juga perlu kembali lagi melihat sejarah lahirnya Golput. Golongan ini lahir pada 1972 silam dikarenakan sikap kritis rakyat terhadap pemerintah yang melanggar aturan permainan dalam demokrasi.
Bagi pemerintah dan penyelenggaran pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.

3.2 Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat penulis berikan pada penulisan makalah ini adalah:
 Masyarakat diharapkan mengerti dan memahami bagaimana sejarah munculnaya Golongan Putih ( Golput ).
 Masyarakat diharapkan mengetahui bagaimana perkembangan Golput pada masa pemerintahan domokrasi.
 Bagi seluruh rakya Indonesian diharapkan menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nuraninya dan patuhi system pemilihan umum dengan baik.

KRITIK TEORI PSIKOLOGI

KRITIK TEORI PSIKOLOGI
Audith M Turmudhi
(Dimuat di majalah ilmiah “Kalam”, Yogyakarta, nomor 5 vol. III tahun 1993; kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”,
editor: Fuat Nashori, Yogyakarta: penerbit Sipress, 1994)

Kalau kita amati sepintas teori-teori psikologi kontemporer yang tersedia di dunia akademik kita, boleh jadi akan timbul kesan bahwa semuanya baik-baik saja. Kesan ini akan membawa sikap lanjutan, yaitu bahwa yang penting untuk kita lakukan adalah sekedar menerimanya dan mengoperasikannya di lapangan. Akan tetapi, jika teori-teori itu kita cermati secara kritis, sangat boleh jadi kesan baik tersebut akan buyar.
Kritisisme – kiranya kita semua sepakat – sangat diperlukan agar suatu karya budaya apapun, termasuk psikologi, menjadi dinamik: tumbuh dan berkembang menuju penyehatan dan penyempurnaan. Lebih-lebih lagi bagi kita, masyarakat akademik negara dunia ketiga, sikap kritis bukan saja akan mengantarkan kita menjadi konsumen ilmu yang baik, akan tetapi juga menjadi prasyarat utama bagi tumbuhnya kreativitas penciptaan teori-teori baru (theoriebuilding) atau bahkan teori-teori psikologi berparadigma baru. Relevansi dan urgensi untuk hal yang disebut terakhir itu kiranya jelas dengan sendirinya, yaitu mengingat psikologi adalah ilmu yang sangat sentral dan sarat nilai, yakni menyangkut pemahaman dan perlakuan terhadap kehidupan kejiwaan manusia. Sementara kita tahu, bahwa psikologi yang kita hadapi saat ini adalah psikologi Barat dengan segala muatan nilai-nilai kulturalnya.
Berikut ini kita akan dicoba-kemukakan kritik teori psikologi atau kritik terhadap teori-teori psikologi, yang akan meliputi kritik empiris, kritik epistemologis, dan kritik ideologis.
Kritik teori ini diharapkan dapat menyingkap cacat-cacat sistemik yang melekat pada (beberapa) teori psikologi. Dengan kritisisme ini, dan selanjutnya dengan tetap memelihara sikap arif, yakni tetap mengapresiasi dan memanfaatkan (apa yang kita anggap sebagai) kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam psikologi Barat tersebut, diharapkan akan memunculkan sikap progresif. Yang dimaksud dengan sikap progresif adalah keberanian melakukan upaya-upaya inisiasi untuk membangun paradigma atau teori-teori psikologi alternatif yang lebih sesuai dengan keyakinan akal dan jiwa sehat kita, yang diharapkan dapat memainkan peran besar dalam upaya menyehatkan dan memanusiawikan peradaban, dan yang integratif dengan pandangan ideologis kita.

Kritik Empiris
Teori adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil temuan lapangan. Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Suatu teori juga dibangun di atas landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara satu dan lain teori (Suriasumantri, 1984). Dengan demikian pada gilirannya kita bisa mempersoalkan apakah suatu teori mampu menjelaskan suatu kenyataan lapangan tertentu atau dapat berlaku dalam kenyataan lapangan dengan setting budaya yang berbeda dari budaya asal teori tersebut dirumuskan. Demikian juga terhadap konsep-konsep yang mendasari teori tersebut, dan metode penerapan teori tersebut.
Untuk contoh kritik empiris ini dapat dikemukakan temuan antropolog Margaret Mead (1928) di masyarakat Samoa, yaitu bahwa anak-anak remaja Samoa ternyata tidak mengalami apa yang dikenal sebagai storm and stress dalam masa perkembangan mereka. Padahal konsep storm and stress yang merupakan hasil temuan pada anak-anak remaja di Amerika Serikat waktu itu dianggap sebagai konsep yang universal, berlaku di mana saja. Kultur di Samoa, rupanya berbeda dengan di Amerika, memungkinkan masa remaja – yang merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa – berlangsung secara mulus saja, tanpa storm and stress.
Contoh lain adalah temuan antropolog Ruth Benedict, bahwa dorongan berkompetisi yang oleh para ahli psikologi semula dianggap sebagai insting, dus bersifat universal, ternyata juga sangat tergantung pada sistem kebudayaan. Pada masyarakat suku Indian Zuni ternyata tidak ditemukan adanya semangat kompetisi. Yang ada adalah semangat untuk selalu membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Di sana masyarakat tidak melihat perlunya bersaing untuk mengalahkan orang lain. Demikian juga pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo.
Contoh lain lagi adalah kritik empiris terhadap konsep-konsep psikoanalisa (Sigmund Freud) dan teori-teori yang mendasarkan diri pada konsep-konsep tersebut. Betapapun kaburnya konsep-konsep psikoanalisa tersebut, sejumlah ahli telah berhasil melakukan studi empirik yang dalam keseluruhan hasilnya ternyata menyangkal kebenaran konsep-konsep dan teori-teori itu. Branislav Malinowski (1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang dinamakan konflik oedipal di antara penduduk pulau Torbiand. Prothro (1961) dalam studinya terhadap praktik-praktik pendidikan anak di Libanon memperoleh bukti bahwa karakter anal sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet training seperti yang diteorikan Freud. Dan, Victor E. Frankl (1964) lewat serangkaian penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa tak ada hubungan antara citra ayah positif dangan keyakinan agama seseorang dan sikapnya terhadap Tuhan.

Kritik Epistemologis
Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan. Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat, jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang dimungkinkan manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada tahap mana pengetahuan yang dapat dianggap manusia (Sahakin & Sahakin, 1965). Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat ilmu yang secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah.
Karena semua pembahasan filsafati itu bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah suatu teori mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak. Hal yang sama dilakukan terhadap konsep-konsep yang mendasari suatu teori.
Berikut ini beberapa contohnya. Pandangan statistikal atau pendekatan grafik-kurva-normal adalah salah satu norma untuk menjawab pertanyaan: siapakah yang normal dan siapakah yang abnormal secara psikologis? Berdasarkan konsep ini disimpulkan bahwa orang-orang yang normal adalah orang-orang yang berperilaku psikologis sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka, yang normal, adalah yang terkumpul di tengah grafik yang berbentuk lonceng itu. Pandangan seperti ini mengandung kesulitan logis, dikarenakan konsekuensinya kita harus menganggap orang-orang yang emosinya luar biasa stabil, misalnya, sebagai orang-orang abnormal, sama seperti orang-orang sub-normal yang mengalami gangguan emosional gawat atau orang-orang neurotik.
Norma lain, dari sudut pandangan kultural, konsep keabnormalan jauh lebih kabur lagi. Ini disebabkan karena pandangan tersebut memberikan kewenangan menimbang kenormalan dan keabnormalan seseorang pada lingkungan sosio-kultural orang tersebut. Karena itu tingkah laku yang dianggap abnormal pada suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu, bisa saja dianggap normal jika orang itu pindah ke kelompok lain. Malik B. Badri (1986) memberi contoh sebuah adat istiadat Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira, di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengatin pria mencambuki beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu, para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat dan menikmati peristiwa yang dipandang sangat “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa itu, psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin akan menganggap pengatin pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan seksual. Si pengantin pria akan dicap sebagai seorang sadistik yang mendapatkan kenikmatan erotik dengan menyakiti orang lain, dan yang dicambuki adalah orang-orang masokhis yang terpuasi nafsu erotiknya dengan disakiti.

Kritik Ideologis
Kritik ideologis bertujuan menyingkap dan mengungkap segi-segi ideologis, nilai-nilai, pandangan-pandangan dasar tentang manusia dan semesta yang mendasari atau menyusup dalam suatu teori atau juga ikut membonceng dalam penerapan suatu teori.
Anggapan bahwa ilmu tidak memberikan penilaian (evaluation), tapi hanya mau mengemukakan fakta apa adanya dengan cara objektif sebagaimana yang bisa disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris, telah disangkal keras oleh Gunnar Myrdal (1969). Dalam semua usaha ilmiah tidak bisa dihindarkan adanya suatu unsur apriori. Oleh sebab itu, unsur-unsur apriori yang berupa asumsi-asumsi dasar, faham-faham ideologis yang mendasari suatu teori hendaknya tidak disembunyikan, melainkan harus dirumuskan dengan jelas agar dapat secara terbuka didiskusikan. Jelaslah bahwa fakta-fakta tidak mengoganisir diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori hanya karena diamati. Fakta-fakta dapat diorganisasi menjadi konsep atau teori hanya setelah diolah dengan menggunakan kerangka konseptual tertentu yang tentunya sudah ada dalam benak sang teoritisi atau dipilih secara apriori. Bahkan apa yang dinamakan fakta-fakta ilmiah pun hanya akan tampak jika dilihat dengan kerangka gagasan atau teori tertentu yang tentunya dipilih secara subjektif, dan tidak tampak kalau kita memakai kerangka gagasan atau teori yang lain. Bagi orang yang hanya percaya pada empirisme, misalnya, adalah berarti ia sudah berpihak kepada empirisme dan tidak pada intuisionalisme. Dus, sudah tidak netral lagi. Maka bagi seorang empiristik, objektivitas sudah diredusir maknanya menjadi kepastian empiris belaka (Myrdal,1969).
Jadi, seorang psikolog yang memandang manusia sebagai seekor binatang materialistik yang bermotivasi tunggal untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya “di sini dan saat ini” (here and now), dengan sendirinya – dalam hal ini, setidak-tidaknya -- berpandangan atheis. Manusia dianggap tidak memiliki jiwa, orientasi dan kerinduan terhadap hal-hal yang tinggi dan metafisis sifatnya. B.F. Skinner yang dengan tegar tidak mau mengakui adanya apa yang dimaksud dengan kehendak bebas (free will) dalam perilaku manusia, dan yang memandang manusia bagai mesin belaka (Hjelle & Ziegler, 1981), maka tentunya di dalam sistem psikologinya berkonsekuensi menonsenskan tanggung jawab manusia. Kenapa manusia harus bertanggung jawab jika ia tidak lebih dari mesin yang bertingkah laku semata atas dasar stimulus-respons? Sama pula dalam psikoanalisa Freud, pertanggungjawaban mustahil diminta karena manusia hanyalah binatang yang bergerak atas dorongan insting: eros dan thanatos. Memang, psikoanalisa tidak terlepas dari pandangan Freud bahwa konsep Tuhan tidak lain adalah sebuah delusi ciptaan manusia. Dan, Freud menyesali kenapa manusia masih menyembah apa yang dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan masa kecil. Begitulah, dalam pandangan psikologi tadi, manusia hanyalah sekedar makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh yang menautkan manusia dengan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA:
Badri, Malik B., Dilema Psikolog Muslim, (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati),
Jakarta: Penerbit Firdaus, 1986
Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions,
Research, and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book
Company, 1981
Myrdal, Gunnar, Objectivity in Social Research, New York: Pantheon Books,
1969
Sahakin, William S. & Sahakin, Mabel L., Realm of Philosophy, Cambridge:
Schenkman, 1965
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984

makalah antropologi budaya

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Mengkaji suatu hal dari aspek filsafat, dikatakan oleh banyak orang bukan perkara yang mudah. Beberapa hal perlu diperhatikan dan dikuasai. Tentunya yang utama adalah kemampuan berpikir filsafat seperti berkipikir secara radikal (berpikir sampai pada hakikatnya yang terdalam), bebas, bertanggungjawab, sistematik, dan universal.
Selain itu dikatakan pula mempelajari filsafat atau kata filsafat itu sendiri seolah-olah tidak mempunyai asosiasi dengan hal yang konkrit. Kata filsafat lebih memunculkan suatu bayangan atau persepsi yang abstrak, berfantasi, dan imajinatif. Ruang lingkup filsafat seolah-olah hanya mengenai suatu hal yang tidak riil atau tidak nyata.
Semua pendapat itu menurut kami tidak sepenuhnya benar. Terutama untuk orang-orang yang mau berpikir tentang sesuatu secara mendalam, filsafat menurut kami dapat meningkatkan kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu. Bukan hanya yang abstrak saja tetapi juga yang riil atau konkrit. Hal itu karena filsafat mengembangkan pola pemikiran dengan metode dialektika. Ada tesis, anti tesis dan sintesis yang ketiga aspek tersebut membuat pemikiran manusia jadi terus berkembang.
Dari metode berpikir filsafat tersebut kami mencoba untuk berpikir apa Pancasila itu sebenarnya? Kalau dijawab sebuah ideologi bangsa, apakah seluruh bangsa Indonesia telah menerapkan dan melaksanakan hal tersebut? Kalau dijawab belum, lalu apakah pantas dikatakan Pancasila itu sebagai ideologi bangsa Indonesia?
Dari pertanyaan itu, saya teringat dengan pernyataan yang pernah disampaikan Bapak Drs. I Nyoman Pursika, M.Hum. dalam sebuah perkuliahan Filsafat Pancasila. Beliau menyatakan bahwa untuk memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, perlu sebuah pemikiran yang mendalam untuk mencari unsur substansialnya. Ibarat menilai diri sendiri kita harus keluar dari diri kita, menilai dan memahami Pancasila harus melepaskan Pancasila dari unsur-unsur aksidensianya (unsur yang melekati Pancasila itu). Hal tersebut berkaitan erat dengan tugas yang diberikan Bapak Drs. I Nyoman Pursika, M.Hum. kepada kelompok kami tentang bagaimana Pancasila dikembangkan dari sudut pandang metafisika.
Lalu bagaimana menilai Pancasila secara mendalam? Bagaimana Pancasila dipandang dari sudut metafisika? Hal itulah yang akan dibahas dalam makalah kami ini.

1.2. Rumusan Masalah
Dari Latar Belakang di atas di atas dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan metafisika?
1.2.2. Apa saja cabang-cabang metafisika?
1.2.3. Bagaimana Pancasila jika dikaji dari sudut pandang cabang-cabang metafisika?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan panulisan dari makalah ini yaitu:
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian dari metafisika.
1.3.2. Untuk mengetahui apa saja cabang-cabang metafisika dan penjelasannya.
1.3.3. Untuk mengetahui bagaimana Pancasila jika dikaji dari sudut pandang cabang-cabang metafisika.
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun beberapa manfaat yang dapat kami uraikan dalam penulisan makalah ini yaitu:
1.4.1. Kita dapat mengetahui pengertian dari metafisika.
1.4.2. Kita dapat mengetahui apa saja cabang-cabang metafisika dan penjelasannya.
1.4.3. Kita dapat mengetahui bagaimana Pancasila jika dikaji dari sudut pandang cabang-cabang metafisika.
1.5. Metode Penulisan
Adapun metode yang penulis gunakan dalam menyelesaikan makalah ini adalah metode kepustakaan, dimana penulis mencari literatur dan referensi yang ada kaitannya dengan Pancasila yang dilihat dari sudut pandang metafisika, kemudian penulis menyimpulkannya dengan terstruktur menjadi sebuah makalah.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Metafisika
Persepsi yang muncul ketika kami mendengar kata metafisika tentunya adalah pelajaran fisika yang kami terima di SMP dan SMA. Pelajaran tersebut bagi kami banyak melibatkan rumus-rumus dan konsep tentang keberadaan alam, sehingga persepsi kami langsung mengidentikkan antara fisika dengan metafisika ini.
Namun setelah kami pelajari, ternyata metafisika sangat berbeda dengan fisika. Jika fisika banyak mempelajari tentang fenomena-fenomena yang terjadi di dalam jagat raya ini, metafisika justru mempelajari hal-hal yang berada di balik gejala-gejala di jagat raya seperti, bergerak, berubah, hidup, dan mati. Perbedaan antara fisika dan metafisika bisa digambarkan sebagai berikut.
Metafisika berasal dari kata meta ta fisika yang artinya ialah sesuatu yang adanya setelah fisika. Oleh Aristoteles metafisika disebut sebagai filsafat pertama. Metafisika ialah cabang filsafat yang menyelidik prinsip-prinsip pertama dari suatu hal. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang filsafat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.
Tentang bagian-bagian dari metafisika itu sendiri, beberapa pakar memiliki pendapat-pendapat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Diantaranya,
a. Pendapat Kattsoff, dalam bukunya Elements of Philosophy, Kattsoff (1963) membagi metafisika menjadi:
Ontologi yang membicarkan tentang: ada, realita, eksistensi, kenampakan, substansi, perubahan, satu, dan banyak.
Cosmologi yang membicarakan tentang: ruang, waktu, gerakan.
b. Pendapat Taylor, dalam bukunya Elements of Metaphysic, Taylor (1924) membagi metafisika menjadi:
ontologi
kosmologi
psikologi yang rasional
c. Pendapat Christian Wolff, dalam bukunya Discursus Praeliminaris de Philosophia in Genare (1728), ia mengemukakan bahwa metafisika terdiri atas:
ontologi
cosmologi
psikologi
teologi
d. The American College Dictionary, di dalam kamus tersebut metafisika terdiri atas:
ontologi (ilmu pengetahuan tentang yang ada)
kosmologi (ilmu pengetahuan tentang struktur alam semesta)
epistemologi (filsafat pengetahuan)
e. The Columbia Encyclopedia, di dalam ensiklopedi ini metafisika terdiri atas:
ontologi
teologi
psikologi
epistemologi
kosmologi

2.2. Cabang-cabang metafisika
Mengingat bervariasinya cabang atau bagian metafisika dari berbagai pakar, dalam makalah ini kami mencoba menyimpulkan ada tiga cabang yang penting yaitu, ontologi, kosmologi, dan antropologi. Namun karena cabang antropologi dibahas oleh kelompok empat, kami hanya menjelaskan cabang filsafat ontologis dan kosmologi saja.
2.2.1. Ontologi
adalah cabang metafisika yang membicarakan hakekat segala sesuatu. Oleh karena itu ada yang menyamakan arti ontologi dengan metafisika itu sendiri. Yang dibicarakan oleh ontologi antara lain ialah substansi, esensi, dan realita. Pertanyaan mengenai hakekat segala sesuatu menimbulkan berbagai jawaban, contohnya apa hakikat manusia, apa hakikat hewan dan sebagainya. Jawaban terhadap pertanyaan itu berupa aliran-aliran kefilsafatan antara lain:
a. Idealisme. Aliran ini mengajarkan bahwa kenyataan adalah ide. Oleh karena itu terhadap pertanyaan mengenai apakah hakekat segala sesuatu, aliran ini menjawab bahwa segala sesuatu berasal dari ide. Ide yang tentunya ada dalam pikiran manusia yang dianggap baik dan bagus yang tentunya tidak menggambarkan kebenaran yang sesungguhnya.
b. Materialisme. Aliran ini berpendapat bahwa kenyataan adalah materi. Materi adalah sesuatu hal yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk, dan menmpati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian, seperti pikiran, jiwa, dan keyakinan itu hanyalah ungkapan proses kebendaan. Manusia yang memiliki unsur materialisme yang kuat di dalam pikirannya, akan berpandangan tentang sesuatu selalu dari ukuran materi. Dalam mengambil keputusan selalu diperhitungkan mana yang lebih menguntungkan dari sisi materi. Sehingga banyak realita yang menunjukkan orang yang materialismenya kuat di dalam dirinya akan merasa sangat tertekan (depresi) jika kehilangan sesuatu dalam bentuk materi, contohnya orang yang dicintai, harta, dan lain-lain.
c. Vitalisme. Aliran ini berpendapat bahwa hidup baik dalam diri manusia maupun organisme lainnya adalah kenyataan yang sebenarnya. Dalam setiap organisme hidup memiliki asas hidup yang memimpin dan mengatur gejala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup. Contohnya, setiap manusia harus bekerja karena manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik sandang, pangan maupun papan. Jenis pekerjaannya pun berbeda sesuai dengan perkembangan jaman. Manusia yang harus memenuhi kebutuhan hidupnya itulah termasuk salah satu asas hidup.
d. Pluralisme. Aliran ini berpendapat bahwa kenyataan adalah banyak, ada berbagai bentuk kenyataan yang mempunyai hubungan satu sama lain. Dan hubungan tersebut bersama-sama menyusun atau membentuk sesuatu.
Aliran-aliran yang telah dijabarkan diatas bisa disimpulkan dalam gambar sebagai berikut.
2.2.2. Kosmologi
adalah cabang metafisika yang membicarakan segala sesuatu yang ada yang teratur. Yang dibicarakan adalah tentang ruang, waktu, dan gerakan. Membahas dari tinjauan ruang berarti membahas tentang ruang lingkup dari sesuatu. Ruang lingkup tersebut bisa didapatkan secara implisit atau eksplisit dari hal tersebut. Membahas dari tinjauan waktu berarti kita membahas tentang mula dan akhir dari sesuatu tersebut. Tentunya, pemikiran tentang mula dan akhir dari sesuatu itu menggunakan kajian historis yang nantinya dikombinasikan dengan pemikiran yang mendalam dari manusia itu sendiri tentang esensi sesuatu itu. Membahas dari tinjauan gerakan, berarti membahas tentang bagaimana perkembangan suatu hal. Apakah pekembangannya akan dinamis atau statis.

2.3. Pancasila dikaji dari cabang-cabang metafisika
Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia bisa kita kaji dari cabang-cabang metafisika. Cabang-cabang metafisika yang kami gunakan untuk mengkaji Pancasila adalah ontologis dan kosmologis.
2.3.1. Pancasila dikaji dengan pendekatan ontologis
Mempelajari Pancasila melalui pendekatan ontologi berarti mencari realita yang terdalam dari Pancasila itu sendiri. Dalam makalah ini bagian dari Kajian ontologis yang digunakan adalah pendekatan esensi, substansi, dan realita.
Pendekatan esensi
Esensi sila-sila Pancasila. Masing-masing sila dicari apa yang menjadi inti atau sari atau esensinya. Diketemukan esensi yaitu:
Ketuhanan sebagai esensi sila pertama
Kemanusiaan sebagai esensi sila kedua
Persatuan sebagai esensi sila ketiga
Kerakyatan sebagai esensi sila keempat
Keadilan sebagai esensi sila kelima
Pengertian masing-masing esensi. Kata-kata tersebut mempunyai pengetian sebagai berikut :
Ketuhanan adalah kesesuaian dengan hakekat Tuhan
Kemanusiaan adalah kesesuaian dengan hakekat manusia
Persatuan adalah kesesuaian dengan hakekat satu
Kerakyatan adalah kesesuaian dengan hakekat rakyat
Keadilan adalah kesesuaian dengan hakikat adil
Isi dan luas suatu pengertian. Di dalam logika diajarkan bahwa isi dan luas suatu pengertian mempunyai perbandingan berbalikan. Makin kecil isinya, main besar luasnya dan makin besar isinya, makin kecil luasnya. Untuk mengerti hal tersebut bisa digambarkan dalam bagan berikut dengan mengambil contoh inti esensi sila kedua Pancasila,
Dari gambar diatas bisa dijelaskan jika kita berbicara manusia, ruang lingkupnya sangat luas. Bisa jadi yang dimaksud adalah seluruh manusia yang ada di dunia. Namun jika kita bandingkan dengan orang Kerambitan, pengertiannya pasti orang-orang yang berasal atau ada di Kecamatan Kerambitan. Hal ini membuktikan yang diliputi oleh esensi sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, dan Adil itu adalah luas sekali. Dari esensi sila-sila yang luas tersebut, dapat kami jelaskan hakekat sila-sila itu sebagai berikut,
a. Hakekat Tuhan
Hakekat Tuhan sebenarnya sulit untuk diketahui. Immanuel Kant berpendapat manusia hanya memahami fenomena belaka dan tidak akan mungkin mengetahui apa yang ada di balik fenomena itu (nomena). Karena itu pula manusia tidak mungkin mengetahui hakekat Tuhan dengan akalnya.
Oleh karena sulit menjelaskan hakekat Tuhan, akan lebih mudah rasanya jika menjelaskan sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat yang tak terbatas misalnya Maha Besar, Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Mengetahui dan sebagainya.
Dengan mengemukakan berbagai sifat tersebut di atas saya berpendapat bahwa apa yang berlaku di negara kita baik yang mengenai kenegaraan, kemasyarakatan maupun perorangan harus sesuai dengan sifat-sifat itu. Dalam hal ini bangsa Indonesia mengetahui bahwa salah satu sumber nilai adalah nilai yang bresumber pada Tuhan. Pengakuan ini sekaligus juga berarti keharusan manusia Indonesia untuk taqwa kepada Tuhan yang menjalankan segala perintahNya dan tidak melanggarnya.
Dengan ini pula kegiatan negara seperti merealisasi tujuannya, melaksanakan keadilan, menjalankan kekuasaan, dan sebagainya seharusnya sesuai dengan hakekat Sila pertama antara lain sesuai dengan sifat-sifat Tuhan. Demikian pula organisasi apa saja di dalam masyarakat harus menunjang apa yang dilakukan pemerintah yang dengan sekuat tenaga ingin merealisasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan rakyat Indonesia.
b. Hakekat Manusia
Membahas tentang hakekat manusia, berarti membahas tentang apa manusia itu sesungguhnya. Banyak pendapat yang mencoba menggali hakekat manusia itu sesungguhnya. Dari sekian pendapat tersebut, kami menggunakan hakekat manusia berdasarkan Notonagoro yang dapat dilukiskan sebagai berikut,


Menurut kodratnya, manusia pada hakekatnya terdiri atas jiwa dan tubuh. Jiwa terdiri atas akal, rasa dan kehendak, sedang tubuh terdiri atas unsur-unsur benda mati, tumbuh-tumbuhan dan binatang. Oleh karena jiwa dan tubuh merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, bahkan merupakan kesatuan, maka aliran yang diajarkan disebut mono-dualisme atau dwi tunggal.
Menurut kodratnya, manusia pada hakekatnya bersifat makhluk individu dan sosial. Keduanya merupakan satu kesatuan yang bulat, karena itu alirannya dinamakan mono-dualisme atau dwi tunggal.
Menurut kodratnya, manusia berkesusukan sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan makhluk Tuhan. Keduanya juga tidak dapat dipisahkan. Karena itu alirannya dinamakan mono-dualisme atau dwi tunggal.
Jika seluruhnya dijadikan satu yaitu baik hakekat, sifat maupun kedudukannya. Maka aliran yang diajarkan dinamakan mono pluralisme. Karena itulah manusia adalah makhluk mono dualistik atau mono pluralistik.

c. Hakekat Satu
Satu merupakan sesuatu yang mempunyai esensinya sendiri. Ia memiliki ciri khasnya sendiri atau dengan kata lain mempunyai kepribadiannya sendiri. Ia merupakan sesuatu yang bulat, tidak dapat dipecah-pecahkan, karena itu ia adalah suatu individu.
Persatuan Indonesia pada hakekatnya berarti bahwa seluruh rakyat, suku, budaya, dan bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan. Bangsa Indonesia mempunyai kepribadiannya sendiri, mempunyai ciri khasnya sendiri sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain. Bangsa Indonesia mempunyai satu bahasa, mempunyai satu tanah air, dan merupakan satu bangsa. Bhinneka Tunggal Ika.
d. Hakekat rakyat
Rakyat adalah salah satu unsur mutlak Negara. Rakyat adalah seluruh manusia yang bertempat tinggal di suatu negara dan yang menjadi pendukung dan Unsur Negara tersebut. Istilah hakekat rakyat menunjukkan bahwa yang penting adalah keseluruhan bukan bagian-bagian. Oleh karena keseluruhan terdiri atas bagian-bagian, meskipun yang pokok adalah keseluruhan sebagai kesatuan, namun karena bagian-bagianlah yang menyusun dan yang merupakan unsur keseluruhan itu, maka antara keseluruhan dan bagian ada hubungan yang erat. Karena itu pula harus ada kerjasama, harus ada gotong royong. Mereka harus sama-sama bekerja, yaitu dari mereka, oleh meraka, dan untuk mereka. Mereka harus menjawab tantangan secara bersama dan memecahkan problem secara bersama.
Dalam hal inilah mereka harus dipimpin oelh hikmah kebijaksanaan. Mereka harus mencapai mufakat melalui musyawarah. Mereka tidak menitikberatkan pada menang atau kalah, akan tetapi musyawarah untuk mufakat, meskipun bilamana tidak ada jalan lain dapat melalui pemungutan suara.
Prinsipnya yang berdaulat atau yang berkuasa adalah rakyat, sedang palaksanaanya dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Cara yang mereka jalankan untuk menyalurkan kehendak rakyat itu melalui permusyawaratan agar supaya tercapai mufakat sebagai hasil kerja bersama atas dasar kejujuran dan keikhlasan.
e. Hakekat Adil
Memberikan kepada diri sendiri dan orang lain apa yang mestinya menjadi haknya adalah adil. Berbicara tentang adil berarti berbicara tentang hak. Istilah hak pada hakekatnya mempunyai sisi yang berkebalikan yaitu wajib. Walaupun berkebalikan hak dan kewajiban memiliki hubungan yang erat dan saling melengkapi satu dengan yang lain.
Inti dari adil sesungguhnya adalah harmoni. Harmoni adalah seimbang, berjalan beriringan, dan tepat sasaran dalam dimensi waktu dan kegunaan. Ini berkaitan erat dengan manusia yang memiliki hak dan kewajiban. Keinginan manusia untuk menuntut hak harus dilandasi dengan situasi dan keadaan, sedangkan tuntunan manusia untuk melakukan kewajibannya harus dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Pendekatan Substansi
Substansi berasal dari kata sub dan stare artinya hypo dan statis atau berdiri di bawah. Substansi berarti sesuatu yang ada, yang mandiri, yang unsur-unsurnya berasal dari dirinya sendiri. Lalu pertanyaannya apakah unsur-unsur Pancasila berasal dari dirinya sendiri?
Untuk membuktikan bahwa Pancasila adalah suatu substansi, kita harus menunjukkan bukti-bukti bahwa unsur-unsur Pancasila itu memang dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu. Dan memang benar bahwa unsur-unsur Pancasila telah terdapat di dalam kebudayaan, adat istiadat, kepercayaan, agama, bangsa dan rakyat Indonesia. Buktinya dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Bukti fisik atau berupa benda, misalnya masjid, gereja, candi, balai agung, balai desa, balai dewan, dan lain-lain.
• Bukti non-fisik atau tidak berupa benda, misalnya kegiatan sembahyang di pura, upacara adat, memberikan bantuan untuk korban bencana alam, kerja bakti, gotong royong, dan lain-lain.
• Bukti-bukti lainnya, misal peranan agama dan rakyat di dalam kehidupan pemerintah pada jaman Majapahit, Sriwijaya, Singasari, dan lain-lain.
Unsur-unsur yang terdapat di dalam diri bangsa Indonesia inilah yang kemudian digali, diusulkan untuk kemudian menjadi dasar negara Indonesia. Jadi jelas bahwa unsur-unsur Pancasila berasal dari bangsa Indonesia itu sendiri dan bukan jiplakan dari luar.
Pendekatan Realita
Realita adalah nyata, ada sungguh-sungguh, bukan kenampakan, bukan ilusi, dan bukan juga fatamorgana. (Sunoto: Mengenal Filsafat Pancasila). Jika kita mengatakan bahwa Pancasila itu adalah suatu realita, kita harus dapat membuktikan bahwa Pancasila telah diimplementasikan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dan telah menjadi sikap dan perbuatan hidupnya sehari-hari. Pekerjaan semacam ini bukanlah suatu hal yang mudah, karena pada hakekatnya yang tahu betul Pancasila sudah diterapkan atau belum adalah orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam hal pembuktian ini, kita hanya menitikberatkan pada hal-hal yang nyata dalam ruang dan waktu, misalnya:
- Kita meneliti peraturan yang ada. Jika peraturan tersebut merupakan realisasi Pancasila, kita dapat mengatakan bahwa Pancasila telah dilaksanakan secara nyata di dalam peraturan itu.
- Jika masyarakat Indonesia telah melakukan gotong royong, rukun, saling tolong-menolong, dan berlaku adil terhadap sesamanya, kita dapat mengatakan bahwa Pancasila memang hidup subur di dalam masyarakat Indonesia.
Tentunya sulit sekali bagi kita untuk menunjukkan jumlah tertentu, apalagi tidak mungkin kita lalu mengatakan semua orang. Kita pun dihadapkan pada kenyataan, bahwa di dalam masyarakat terjadi juga perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila, misalnya penipuan, penganiayaan, perkelahian, dan berbagai pelanggaran serta kekejaman lainnya.
Jika kita perhatikan dengan seksama pelanggaran tersebut, hanya merupakan kejadian yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan perbuatan dan kejadian yang terpuji. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa Pancasila telah dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Dan kita dapat menyimpulkan bahwa Pancasila merupakan realita atau kenyataan hidup bangsa Indonesia.
2.3.2. Pancasila dikaji dengan pendekatan Kosmologi
Pendekatan Kosmologi dalam kaitannya dengan usaha pengkajian Pancasila, bisa ditinjau dari ruang, waktu, dan gerakan.
Tinjauan menurut ruang
Dalam kehidupan sehari-hari (terutama pada masa PEMILU sekarang ini) banyak yang menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia, Pancasila adalah kepribadian bangsa Indonesia dan Pancasila adalah jiwa bangsa Indonesia.
Pernyataan-pernyataan tersebut selalu menyebutkan kata Indonesia. Ini berarti bahwa Pancasila mempunyai ruang lingkup Indonesia. Pancasila harus berlaku di seluruh daerah Indonesia, harus dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pancasila harus dilaksanakan di dalam segala kegiatan kenegaraan, kemasyarakatan, dan orang-orang Indonesia.
Di dalam Pancasila itu sendiri, tercantum jelas kata Indonesia di dalam sila ketiga (Persatuan Indonesia) dan kelima (Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Lalu apakah sila pertama, kedua dan keempat tidak berarti diterapkan di Indonesia? Menjawab pertanyaan ini diperlukan kesadaran dan pemahaman bahwa sila-sila dalam Pancasila itu adalah satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Sila-sila dalam Pancasila juga saling mengisi dan mengkualifikasi antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi jelas jika sila pertama, kedua, dan keempat walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit kata Indonesia, namun secara implisit lewat hubungannya dengan sila-sila yang lain bermakna juga diterapkan di Indonesia.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apakah ruang lingkup Pancasila hanya terbatas di Indonesia saja? Jawabannya jelas, bahwa Pancasila wajib berlaku di seluruh Indonesia tetapi tidak wajib berlaku bagi bangsa-bangsa lain. Meskipun demikian jika sekiranya bangsa lain mau menerima Pancasila setidak-tidaknya esensi atau jiwa Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan, kami kira tidak ada yang keberatan. Justru dengan diterapkannya Pancasila pada bangsa lain, berarti Pancasila yang mempunyai ruang lingkup Indonesia dapat mengembangkan diri ke ruang lingkup yang lebih luas.
Tinjauan menurut waktu
Ditinjau dari sudut waktu, Pancasila yang unsur-unsurnya sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia (sesuai dengan esensi sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan), merupakan semangat bangsa Indonesia yang kemudian dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai suatu revolusi, pada tanggal 17 Agustus 1945 itu terjadi suatu perubahan yang radikal dan cepat. Perubahan samapai ke akar-akarnya, menolak yang kemarin dan membangun untuk hari esok. Pada hakekatnya revolusi Indonesia adalah revolusi Pancasila. Itu karena apa yang ditolak adalah yang tidak sesuai dengan ajaran Pancasila. Penjajahan pada hakekatnya bertentangan dengan Pancasila karena tidak sesuai dengan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
Karena Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak dapat dipisahkan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka semangat Proklamasi yaitu semangat Pancasila juga tidak dapat dipisahkan dengan Semangat Undang-Undang Dasar 1945. Karena Negara Indonesia adalah Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, maka semangat Negara Indonesia adalah Pancasila. Karena Negara Indonesia disusun dan dibentuk untuk waktu yang tidak terbatas, maka Pancasila juga berlaku untuk waktu yang tidak terbatas atau dengan kata lain abadi. Semua hal tentang Pancasila menurut tinjauan waktu bisa digambarkan sebagai berikut,


Tinjauan menurut gerakan
Ditinjau dari gerakan, Pancasila bisa dinyatakan tetap dan bisa juga dinyatakan dinamik. Pancasila dinyatakan tetap karena Pancasila merupakan fundamen atau dasar paling pokok dari pada negara. Di atas dasar itulah Negara Republik Indonesia berdiri dengan kuat. Oleh karena unsur-unsur Pancasila bersal dari bangsa Indonesia sendiri, maka Pancasila sebagai jiwa bangsa dan dasar Indonesia adalah tetap dan tidak berubah sepanjang waktu.
Pancasila dinyatakan dinamik karena Pancasila juga merupakan tujuan bangsa Indonesia sehingga mampu menggerakkan bangsa Indonesia menuju kecita-citanya yaitu masyarakat adil-makmur, material spiritual berdasarkan Pancasila.












BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah dipaparkan dalam bagian pembahasan, adapun kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah sebagai berikut:
1. Metafisika berasal dari kata meta ta fisika yang artinya ialah sesuatu yang adanya setelah fisika. Oleh Aristoteles metafisika disebut sebagai filsafat pertama. Metafisika ialah cabang filsafat yang menyelidik prinsip-prinsip pertama dari suatu hal. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang filsafat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.
2. Metafisika sebagai cabang dari filsafat memiliki beberapa cabang lagi, diantaranya ontologis dan kosmologis. Ontologis adalah cabang metafisika yang membicarakan hakekat segala sesuatu. Yang dibicarakan oleh ontologi antara lain ialah substansi, esensi, dan realita. Kosmologis adalah cabang metafisika yang membicarakan segala sesuatu yang ada yang teratur. Yang dibicarakan adalah tentang ruang, waktu, dan gerakan.
3. Dari sudut pandang ontologis, Kajian Pancasila bisa dilihat berdasarkan esensinya, substansinya, dan realitanya. Esensi dari Pancasila yaitu sila pertama adalah tuhan, sila kedua adalah manusia, sila ketiga adalah satu, sila keempat adalah rakyat, dan sila kelima adalah adil. Substansi dari Pancasila adalah berasal dari kebudayaan, adat istiadat, kepercayaan, dan agama bangsa Indonesia itu sendiri. Realita Pancasila saat ini adalah telah dilaksanakan secara konsisten oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Walaupun tidak sedikit pula yang menyimpang tetapi jumlahnya lebih sedikit dari pada yang melaksanakan Pancasila. Dari sudut pandang Kosmologi, Kajian Pancasila bisa dilihat berdasarkan ruang, waktu, dan gerakan. Ruang lingkup Pancasila adalah di Indonesia, tapi tidak tertutup kemungkinan untuk negara lain menggunakan Pancasila juga. Dari sudut waktu, Pancasila adalah ideologi yang abadi selama negara proklamasi 17 Agustus 1945 yaitu indonesia masih ada. Dari sudut gerakan, Pancasila bisa statis dan juga dinamis sesuai dengan penggunaannya



3.2. Saran
Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Untuk itu kita sebagai manusia Indonesia harus mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi bagi yang telah membaca makalah ini, tentunya punya motivasi yang lebih untuk mengamalkan Pancasila dan tidak hanya belajar teorinya saja.