Selasa, 30 Maret 2010

Golput hambat demokrasi

Golput hambat demokrasi
FENOMENA golput pada masa demokrasi di Indonesia semakin banyak terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam event politik seperti dalam pilkada. Contoh konkretnya adalah dalam pilgub di Jawa Tengah, di mana golput menduduki posisi tertinggi pada quick count LSI, yaitu mencapai 45,50 persen.
Awalnya, istilah golput muncul sebulan sebelum Pemilu 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 di Gedung Balai Budaya, Jakarta. Aktivis politik Arief Budiman didampingi Julius Usman, Imam Waluyo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, dan sejumlah aktivis lainnya mendeklarasikan sebuah gerakan moral yang diberi nama golongan putih atau yang biasa disebut dengan golput.
Di bawah rezim baru yang dipimpin Soeharto, deklarasi gerakan ini tergolong nekad. Namun ketidakpuasan para aktivis terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan parpol memang sudah tak bisa dibendung. Ketentuan UU yang notabene dibentuk untuk memangkas munculnya parpol baru ini dinilai menghambat gerak demokrasi. Para pendiri berpendapat, golput bukan organisasi, melainkan gerakan kultural untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak asasi politik masyarakat.
Maklumat golput ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi baru penyelenggaraan pemilu, yang digambarkan mulai mengintimidasi rakyat supaya memilih Golkar. Mantan aktivis golput Jopie Lasut bertutur, cara orang bersikap golput adalah merusak kertas suara atau tinggal di rumah pada saat pemilu berlangsung.
Deklarasi gerakan yang mengusung logo segi lima dengan warna dasar putih ini memancing pro dan kontra. Para aktivis dari lembaga demokrasi seperti Adnan Buyung Nasution dan HJC Princen memberikan suara dukungan pada gerakan ini, bahkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu Soebchan ZE juga menyatakan simpatinya.
Suara menentang justru muncul dari Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis. Mochtar menyebut gerakan Arief dan kawan-kawan naif. Mayor Jenderal Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, juga berkomentar senada. Bahkan ia mengumpamakan golput seperti (maaf) kentut, baunya tercium tapi bentuknya tak terlihat.
Meski dinilai naif, deklarasi golput pada saat itu tak urung membuat gerah pemerintahan Soeharto. Beberapa hari setelah deklarasi, sebanyak 34 aktivis yang gencar mengampanyekan golput ditahan. Namun penangkapan ini sama sekali tak menyurutkan perlawanan. Pasca 1971, gerakan golput masih punya pengikut. Kampanye terhadap gerakan ini cukup gencar menjelang Pemilu 1977, 1982, dan 1987. Pada Pemilu 1992, kampanye Golput bahkan meluas di berbagai kampus dan masih berlajut sampai sekarang. Mengapa?
Banyak alasan mengapa masyarakat lebih memilih golput daripada memilih salah satu calon kandidat. Paling tidak ada empat alasan mendasar untuk memilih golput, yaitu pertama, masyarakat jenuh karena terus-menerus terlibat dalam pemilihan pejabat politik. Misalnya seperti yang terjadi di Banyumas. Dalam kurun waktu tak lebih dari satu tahun, terdapat tiga kali event pilkada seperti ini, yaitu pilkades, pilbup, dan pilgub.
Alasan kedua, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan janji-janji yang diusung oleh kader partai politik tersebut. Alasan ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Pilkada hanya dijadikan ajang untuk perebutan kekuasaan semata tanpa usaha untuk merealisasikan janji-janji yang diusung pada kampanye. Hal ini juga yang menyebabkan munculnya alasan pertama di dalam diri masyarakat.
Ketiga, belum optimalnya pendidikan politik masyarakat. Masyarakat kita terbiasa dengan sistem politik yang feodal pada zaman Orde Baru, yang tak biasa berpartisipasi dalam sistem pemerintahan. Melihat realita yang seperti ini, sebaikanya pemerintah menyosialisasikan pentingnya pemilu kepada masyarakat.
Faktor keempat yakni persoalan teknis, misalnya pindah tempat sehingga namanya tidak terdata di tempat baru atau terdapat masyarakat yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Selain alasan yang disebut diatas, proximity juga menjadi alasan orang untuk memilih golput. Dalam pilgub Jawa tengah, adanya jarak yang jauh antara si pemilih dengan calon kandidat dalam pilgub, membuat pemilih kurang mengenal calon gubernur. Berbeda dengan pilkades, yang memiliki kedekatan antara calon kandidat dengan pemilih, yang dapat menekan tingginya jumlah golput.
Di samping itu, tingginya golput di Pilgub Jawa Tengah dipengaruhi oleh sosialisasi mengenai visi dan misi calon kandidat yang tidak merata, sehingga masyarakat kurang mengenal calon pemimpin rakyat Jawa Tengah. Kesadaran Masyarakat dan Tim Sukses Dalam ajang seperti ini, meningkatnya jumlah golput tampak tidak wajar dan dapat menghambat terwujudnya pemerintahan yang berlandaskan demokrasi. Namun, demokrasi di Indonesia sendiri juga tidak memaksa rakyatnya untuk menggunakan hak pilihnya. hf Meli Anelgi Dianti, dkk Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNSOED

0 komentar:

Posting Komentar