Sabtu, 20 Maret 2010

makalah demokrasi

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Setiap pelaksanaan pemilu, baik pemilu legislatif, Pilpres ataupun pemilu kepala daerah (Pilkada) selalu diwarnai dengan munculnya golongan putih atau Golput. Entah kenapa golongan yang satu ini selalu menjadi ‘’sosok’’ yang mengkhatirkan dan menakutkan. Disebut mengkhawatirkan karena golongan ini dinilai ‘’sosok’’ yang tidak mendukung pesta demokrasi yang sudah berjalan puluhan di negeri ini.

Pada Pilkada di sejumlah daerah Golput dinilai sebagai pemenang pilkada. Di Jawa Timur contohnya, jumlah Golput mencapai 40,42 persen. Sedangkan pada pilkada Sumatera Utara jumlah Golput terus meningkat mencapai 43 persen. Golput mencatat angka terbesar pada pilkada di Kalimantan Timur yang mencapai 50persen. Terlepas dari siapa sebenarnya sosok Golput tersebut, ada baiknya kita mempertanyakan kembali kenapa banyak warga yang enggan menyukseskan pilkada? Jawabannya tentu beragam. Yang paling general adalah bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.
Bagi pemerintah dan penyelenggaran pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.
Pada pemilu mendatang tentu saja pemerintah berharap jumlah Golput bisa terus menipis. Namun harapan itu tentunya mesti dibarengi dengan sikap pemerintah yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Jika rakyat masih merasa curiga dengan banyaknya pelanggaran dalam pemilu atau pilkada maka tidak heran jika mereka akan terus bersikap apatis terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut.


1.2 Rumusan malasah
Dari latar belakang diatas dapat penulis rumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimana sejarah munculnya dari Golongan Putih ( Golput ) itu sendiri ?
1.2.2 Faktor-fakor terjadinya Golongan Putih ( Golput ) dimasa pemerintahan demokrasi?
1.2.3 Bagaiman perkembangan Golongan Putih ( Golput ) dimasa pemerintahan demokrasi?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

1.3.1 Untuk mengetahui sejarah munculnya Golongan Putih ( Golput )
1.3.2 Untuk menetahui factor-faktor terjadinya golput dimasa pemerntahan demokrasi.
1.3.3 Untuk mengetahui perkembangan Golput dimasa pemerintahan demokrasi.

1.4 Metode Penulisan

Adapun metode yang kami pergunakan dalam penulisan makalah ini yaitu metode diskusi dan metode kepustakaan, dimana kami menggunakan literature-literatur yang berkaitan dengan “Golput di Masa Pemerintahan Demokrasi” dan kemudian kami menyimpulkan dalam bentuk makalah.










BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Sejarah munculnya Golongan Putih ( Golput )
2.1.2 Munculnya Golongan Putih ( Golput )
Setiap menjelang pemilihan umum, masalah golput atau golongan putih muncul kembali. Golput adalah gerakan informal yang menganjurkan masyarakat agar tidak memilih. Dengan alasan yang bermacam-macam.
Awalnya, istilah golput muncul sebulan sebelum Pemilu 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 di Gedung Balai Budaya, Jakarta. Aktivis politik Arief Budiman didampingi Julius Usman, Imam Waluyo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, dan sejumlah aktivis lainnya mendeklarasikan sebuah gerakan moral yang diberi nama golongan putih atau yang biasa disebut dengan golput. Di bawah rezim baru yang dipimpin Soeharto, deklarasi gerakan ini tergolong nekad. Namun ketidakpuasan para aktivis terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan parpol memang sudah tak bisa dibendung. Ketentuan UU yang notabene dibentuk untuk memangkas munculnya parpol baru ini dinilai menghambat gerak demokrasi. Para pendiri berpendapat, golput bukan organisasi, melainkan gerakan kultural untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak asasi politik masyarakat.
Maklumat golput ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi baru penyelenggaraan pemilu, yang digambarkan mulai mengintimidasi rakyat supaya memilih Golkar. Mantan aktivis golput Jopie Lasut bertutur, cara orang bersikap golput adalah merusak kertas suara atau tinggal di rumah pada saat pemilu berlangsung. Deklarasi gerakan yang mengusung logo segi lima dengan warna dasar putih ini memancing pro dan kontra. Para aktivis dari lembaga demokrasi seperti Adnan Buyung Nasution dan HJC Princen memberikan suara dukungan pada gerakan ini, bahkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat itu Soebchan ZE juga menyatakan simpatinya.
Suara menentang justru muncul dari Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya Mochtar Lubis. Mochtar menyebut gerakan Arief dan kawan-kawan naif. Mayor Jenderal Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, juga berkomentar senada. Bahkan ia mengumpamakan golput seperti (maaf) kentut, baunya tercium tapi bentuknya tak terlihat. Meski dinilai naif, deklarasi golput pada saat itu tak urung membuat gerah pemerintahan Soeharto. Beberapa hari setelah deklarasi, sebanyak 34 aktivis yang gencar mengampanyekan golput ditahan. Namun penangkapan ini sama sekali tak menyurutkan perlawanan. Pasca 1971, gerakan golput masih punya pengikut. Kampanye terhadap gerakan ini cukup gencar menjelang Pemilu 1977, 1982, dan 1987. Pada Pemilu 1992, kampanye Golput bahkan meluas di berbagai kampus dan masih berlajut sampai sekarang.

2.2 Faktor- factor yang menyebabkan terjadinya Golput di masa pemerintahan demokrasi.
2.2.1 faktor-faktor terjadinya Golput

Analisis sementara, ada tiga faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya Golput. Pertama, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan persoalan rice bowle (piring nasi) tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos. Jika analisis ini benar, maka bisa ditarik kesimpulan sementara, persoalan pekerjaan menjadi hal yang lebih utama dibandingkan dengan persoalan politik. Tingkat pemenuh¬an kebutuhan pangan, menjadi lebih dipentingkan dibandingkan dengan persoalan penggunaan hak atau partisipasi dalam dalam kontestasi polotik. Sekali lagi, jika bacaan ini benar, maka kini diam-diam kehidupan politik kita sedang dalam bahaya. Politik dipersepsi hanya menjadi urusan elit belaka dan dianggap tidak ada korelasinya dengan kehidupan sehari-hari. Masyarakat pada satu sisi jenuh, tidak mau terlibat politik, pada sisi lain juga dihadapkan dengan persoalan domestik yang sangat mendesak. Yakni bagaimana memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan demikian, secara struktural, pemicu tinggi¬nya angka Golput itu tidak lain adalah suatu yang pangkalnya dari kebijakan ekonomi politik secara makro.

Analisis berikutnya menyebutkan bahwa pemicu dari rendahnya tingkat partisipasi masyarakat adalah karena Pilkada kurang greget. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Pilkada, dari KPUD sampai kandidat, tidak gencar melakukan sosiali¬sasi tentang Pilkada kepada masyarakat. KPUD sebagai pe¬-nye¬¬¬¬¬¬lenggara Pilkada dianggap kurang maksimal dalam melakukan sosialisasi, demikian halnya dengan peserta Pilkada yang hanya melakukan sosialisasi melalui media yang sangat terbatas. Jadi, Pilkada dimaknai hanya semata-mata hanya hajat elit politik yang ikut kontestasi politik belaka.
Faktor berikutnya, yang dianalisis sebagai biang rendahnya partisipasi politik adalah masalah di seputar kandidat itu sendiri. Pasangan calon dianggap tidak membawa harapan baru yang bisa memacu optimisme masyarakat. Tidak ada angin segar yang ditawarkan oleh pasangan, yang bisa menjadi alasan para pemilih untuk menggunakan suaranya. Jika analisis ini betul, tingginya angka Golput itu bisa dibaca sebagai cermin apatisme politik masyarakat. Pemberian dukungan dalam Pilkada hanya dianggap seba¬gai suatu yang tidak memiliki makna, sebab hanya akan dijadikan sebagai legitimasi politik belaka oleh para peserta, sementara tanggung jawab politiknya untuk mengakomodasi aspirasi pemilih dalam bentuk kebijakan-kebijakan belum tentu akan dijalankan. Prasyarat penting tentang demokrasi yang bisa menjelaskan adalah demokrasi hanya akan berjalan jika sering dengan tingkat kesejahteraan. Tidak ada demokrasi pada negara yang penduduknya miskin. Kemiskinan pada dasarnya merupakan penghalang bagi tumbuh dan berkembangnya sistem dan budaya demokrasi.
Selain itu juga masyarakat jenuh karena terus-menerus terlibat dalam pemilihan pejabat politik. Misalnya seperti yang terjadi di Banyumas. Dalam kurun waktu tak lebih dari satu tahun, terdapat tiga kali event pilkada seperti ini, yaitu pilkades, pilbup, dan pilgub.
Alasan kedua, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan janji-janji yang diusung oleh kader partai politik tersebut. Alasan ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat. Pilkada hanya dijadikan ajang untuk perebutan kekuasaan semata tanpa usaha untuk merealisasikan janji-janji yang diusung pada kampanye. Hal ini juga yang menyebabkan munculnya alasan pertama di dalam diri masyarakat.
Ketiga, belum optimalnya pendidikan politik masyarakat. Masyarakat kita terbiasa dengan sistem politik yang feodal pada zaman Orde Baru, yang tak biasa berpartisipasi dalam sistem pemerintahan. Melihat realita yang seperti ini, sebaikanya pemerintah menyosialisasikan pentingnya pemilu kepada masyarakat.
Faktor keempat yakni persoalan teknis, misalnya pindah tempat sehingga namanya tidak terdata di tempat baru atau terdapat masyarakat yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Selain alasan yang disebut diatas, proximity juga menjadi alasan orang untuk memilih golput. Dalam pilgub Jawa tengah, adanya jarak yang jauh antara si pemilih dengan calon kandidat dalam pilgub, membuat pemilih kurang mengenal calon gubernur. Berbeda dengan pilkades, yang memiliki kedekatan antara calon kandidat dengan pemilih, yang dapat menekan tingginya jumlah golput.
Di samping itu, tingginya golput di Pilgub Jawa Tengah dipengaruhi oleh sosialisasi mengenai visi dan misi calon kandidat yang tidak merata, sehingga masyarakat kurang mengenal calon pemimpin rakyat Jawa Tengah. Kesadaran Masyarakat dan Tim Sukses Dalam ajang seperti ini, meningkatnya jumlah golput tampak tidak wajar dan dapat menghambat terwujudnya pemerintahan yang berlandaskan demokrasi. Namun, demokrasi di Indonesia sendiri juga tidak memaksa rakyatnya untuk menggunakan hak pilihnya.



2.3 Perkembangan Golput dimasa Pemerintahan Demokrasi

Perkembangan Golput di Indonesia sangat lah pesat, dimana dulu Golput hanyalah sebagaian persen yaitu 10% dari 100% hasil pemilu yang dulu, tetapi pada masa sekarang ini, Golput sedang mulai memarak, dimana kita ketahui, di beberapa daerah banyak masyarakat yang tidak menyukseskan dalam Pildes, Pilbup dan Pilgub. Ini di karenakan bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.
Mungkin kita juga perlu kembali lagi melihat sejarah lahirnya Golput. Golongan ini lahir pada 1971 silam dikarenakan sikap kritis rakyat terhadap pemerintah yang melanggar aturan permainan dalam demokrasi.
Bagi pemerintah dan penyelenggaran pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.
Bisa dikatakan bahwa pada Pilkada di sejumlah daerah Golput dinilai sebagai pemenang pilkada. Di Jawa Timur contohnya, jumlah Golput mencapai 40,42 persen. Sedangkan pada pilkada Sumatera Utara jumlah Golput terus meningkat mencapai 43 persen. Golput mencatat angka terbesar pada pilkada di
Kalimantan Timur yang mencapai 50 persen.
Sama dengan pelaksanaan pilkada di daerah lain, Golput juga hadir pada pilkada di Riau. Menurut hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Golput pada pilkada Riau mencapai 42 persen. Jumlah ini hampir separuh dari jumlah pemilih yang tercatat sebagai pemilih tetap yang jumlahnya mencapai 3,2 juta. LSI berpendapat Golput merupakan pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya pada hari pencoblosan. Pemilih yang tidak mencoblos disebabkan oleh banyak faktor, bisa karena tidak dapat kartu pemilih ataupun pemilih yang punya kartu pemilih namun tidak datang ke TPS karena berbagai alasan.
Penyelenggara pilkada yaitu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Riau tentu saja mengkhawatirkan jumlah Golput ini. Sebelumnya, anggota KPUD Riau Makmur Hendrik menyatakan bahwa Golput di Riau hanya berjumlah 1 persen. Risau dengan angka Golput yang dipaparkan LSI, Makmur pun memaparkan siapa sebenarnya sosok Golput tersebut.
Menurutnya, pemahaman tentang Golput selama ini menyesatkan. Karena semua orang yang tidak memilih disebut Golput. Padahal, kata Makmur diawali oleh sikap segelintir orang pada masa Orde Baru untuk memprotes rezim yang berkuasa pada waktu itu. Protes mereka diwujudkan dengan tidak ikut memilih dalam penyelenggaraan pemilu. Mengacu pada sikap tersebut Makmur menilai sudah jelas siapa yang pantas disebut Golput. Secara sederhana, Golput adalah orang yang tidak memilih karena antisistem dan antirezim.
Pada pemilu mendatang tentu saja pemerintah berharap jumlah Golput bisa terus menipis. Namun harapan itu tentunya mesti dibarengi dengan sikap pemerintah yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Jika rakyat masih merasa curiga dengan banyaknya pelanggaran dalam pemilu atau pilkada maka tidak heran jika mereka akan terus bersikap apatis terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut.























BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
 Munculnya Golongan Putih ( Golput )
Awalnya, istilah golput muncul sebulan sebelum Pemilu 1971, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 di Gedung Balai Budaya, Jakarta. Aktivis politik Arief Budiman didampingi Julius Usman, Imam Waluyo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, dan sejumlah aktivis lainnya mendeklarasikan sebuah gerakan moral yang diberi nama golongan putih atau yang biasa disebut dengan golput.
Di bawah rezim baru yang dipimpin Soeharto, deklarasi gerakan ini tergolong nekad. Namun ketidakpuasan para aktivis terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan parpol memang sudah tak bisa dibendung. Ketentuan UU yang notabene dibentuk untuk memangkas munculnya parpol baru ini dinilai menghambat gerak demokrasi. Para pendiri berpendapat, golput bukan organisasi, melainkan gerakan kultural untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak asasi politik masyarakat.
 Faktor-faktor terjadinya Golput
Analisis sementara, ada empat faktor yang dituding sebagai penyebab terjadinya Golput. Pertama, persoalan ekonomi. Masyarakat lebih mengutamakan persoalan rice bowle (piring nasi) tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk mencoblos, selain itu masyarakat jenuh karena terus-menerus terlibat dalam pemilihan pejabat politik.
Alasan kedua, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan janji-janji yang diusung oleh kader partai politik tersebut. Alasan ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat.
Ketiga, belum optimalnya pendidikan politik masyarakat. Masyarakat kita terbiasa dengan sistem politik yang feodal pada zaman Orde Baru, yang tak biasa berpartisipasi dalam sistem pemerintahan.
Faktor keempat yakni persoalan teknis, misalnya pindah tempat sehingga namanya tidak terdata di tempat baru atau terdapat masyarakat yang namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih. Selain alasan yang disebut diatas, proximity juga menjadi alasan orang untuk memilih golput.

 Pekembangan Golput pada masa Pemerintahan Demokrasi

Perkembangan Golput di Indonesia sangat lah pesat, dimana dulu Golput hanyalah sebagaian persen yaitu 10% dari 100% hasil pemilu tahun 1951, tetapi pada masa sekarang ini, Golput sedang mulai memarak, dimana kita ketahui, di beberapa daerah banyak masyarakat yang tidak menyukseskan dalam Pildes, Pilbup dan Pilgub. Ini di karenakan bahwa masih banyak warga yang bersikap apatis terhadap pelaksanaan pemilu ataupun pilkada.
Mungkin kita juga perlu kembali lagi melihat sejarah lahirnya Golput. Golongan ini lahir pada 1972 silam dikarenakan sikap kritis rakyat terhadap pemerintah yang melanggar aturan permainan dalam demokrasi.
Bagi pemerintah dan penyelenggaran pemilu atau pilkada, Golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara.

3.2 Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat penulis berikan pada penulisan makalah ini adalah:
 Masyarakat diharapkan mengerti dan memahami bagaimana sejarah munculnaya Golongan Putih ( Golput ).
 Masyarakat diharapkan mengetahui bagaimana perkembangan Golput pada masa pemerintahan domokrasi.
 Bagi seluruh rakya Indonesian diharapkan menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nuraninya dan patuhi system pemilihan umum dengan baik.

0 komentar:

Posting Komentar