Sabtu, 20 Maret 2010

PEMILU-PEMILU DI INDONESIA

PEMILU-PEMILU DI INDONESIA
AA GN ARI DWIPAYANA


Pengantar
Sampai tahun 2004, Indonesia telah menyelenggarakan delapan kali pemilihan umum. Pemilu untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 1955. Setelah itu ada masa vakum yang cukup lama (kurang lebih enam belas tahun) sampai diselenggarakan pemilu kedua pada tahun 1971. Pemilu kedua ini digelar dalam konteks politik yang berbeda, karena ada proses transfer kekuasaan dari rezim Soekarno ke rezim Orde Baru pada tahun 1966. Rezim Orde Baru cukup konsisten menjalankan pemilu secara regular- lima tahunan- mulai dari dari 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan terakhir 1997.
Setelah era kekuasaan Orde Baru berakhir tahun 1998, maka penyelenggaraan pemilu dipercepat dari jadwal yang seharusnya, tahun 2002. Namun, perubahan konstelasi politik, memaksa Presiden Habibie untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999. Pemilu 1999 diikuti oleh pergelaran pemilu untuk ke sembilan kalinya pada tahun 2004. Pemilu 2004 mempunyai nuansa yang berbeda agak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, karena disamping memilih anggota legislatif, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah. Berikut sejarah perjalanan pemilu-pemilu di Indonesia, mulai dari Pemilu 1995-2004.

Pemilu 1955
Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Walaupun masih berusia muda, namun kehidupan politik kepartaian sangat dinamis. Hal ini didorong oleh keluarnya Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan par-tai-partai politik.
Selain mengajurkan pendirian partai politik, Maklumat tersebut menyebutkan akan diselenggarakannya pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR pada bulan Januari 1946. Namun, rencana untuk mengadakan pemilu tahun 1946 tidak bisa dilaksanakan karena kondisi politik yang tidak memungkinkan.
Setelah gagal menggelar pemilu tahun 1946, pemerintah tetap merumuskan undang-undang pemilu. Hal terlihat jelas dari dirumuskannya UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Kemudian pada paroh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipili oleh rakyat melalui pemilihan umum. Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Dalam masa pemerintahan kabinet Wilopo lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu.
Undang-undang ini menjadi payung hukum Pemilu 1955. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan amanat UU no. 7 Tahun 1953, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Pemilu pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Pemilu kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu 1955 diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Dalam UU No. 7 tahun 1953 disebutkan bhawa pemilu 1955 menggunakan sistem proporsional. Sistem proporsional yang diambil masih murni karena penentuan kursi di tiap daerah benar-benar didasarkan pada proporsi jumlah penduduk. Perkecualian ada anggota DPR yang diangkat, tidak dipilih, yaitu: 3 orang wakil Irian Jaya, 6 orang golongan Tionghoa, 3 wakil golongan Arab, dan 3 wakil golongan Eropa. Struktur pemeilihannnya menggunakan sistem daftar tertutup atau meminjam isitilah liphajrt- closed list system. Berarti pemilih hanya memilih partai politik perseta pemilu bukan memilih calon
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun beri-kutnya, meskipun tahun 1958 Pejabat Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II. Sejalan dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 membuat perubahan konstelasi politik nasional yang selanjutnya membuat pemilu tidak bisa diselenggarakan.

Pemilu-pemilu di era Orde Baru
Sistem pemilihan yang diterapkan pada pemilu-pemilu di masa Orde Baru adalah sistem proporsional tapi tidak murni. Sebab penentuan jumlah kursi masing-masing daerah pemilihan tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah penduduk tapi juga didasarkan pada wilayah administrasi. Dengan kata lain pemilu-pemilu di masa Orde Baru menggunakan sisitem proporsional yang dikombinasikan dengan sedikit sistem distrik. Hal ini dlakukan untuk mengurangi kesenjangan Jawa dan luar Jawa akibat perbedaan jumlah penduduk. Berikut dinamika perjalan sistem dan proses pemilu di masa Orde Baru:

Pemilu 1971
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat presiden Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama. Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun pak Harto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
Undang-undnag yang digunakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah konsep “netralitas birokrasi” bahwa birokrasi dan para pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal. Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971, birokrasi dan para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Tetapi, kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai terbuang percuma. Jelasnya, pembagian kursi pada Pemilu 1971 dilakukan dalam tiga tahap, ini dalam hal ada partai yang melakukan stembus accoord. Tetapi di daerah pemilihan yang tidak terdapat partai yang melakukan stembus acccord, pembagian kursi hanya dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pembagian kursi pada Pemilu 1971 adalah sebagai berikut. Pertama, suara partai dibagi dengan kiesquotient di daerah pemilihan. Tahap kedua, apabila ada partai yang melakukan stembus accoord, maka jumlah sisa suara partai-partai yang menggabungkan sisa suara itu dibagi dengan kiesquotient. Pada tahap berikutnya apabila masih ada kursi yang tersisa masing-masing satu kursi diserahkan kepada partai yang meraih sisa suara terbesar, termasuk gabungan sisa suara partai yang melakukan stembus accoord dari perolehan kursi pembagian tahap kedua. Apabila tidak ada partai yang melakukan stembus accoord, maka setelah pembagian pertama, sisa kursi dibagikan langsung kepada partai yang memiliki sisa suara terbesar.
Namun demikian, cara pembagian kursi dalam Pemilu 1971 menyebabkan tidak selarasnya hasil perolehan suara secara nasional dengan perolehan keseluruhan kursi oleh suatu partai. Contoh paling gamblang adalah bias perolehan kursi antara PNI dan Parmusi. PNI yang secara nasional suaranya lebih besar dari Parmusi, akhirnya memperoleh kursi lebih sedikit dibandingkan Parmusi.

Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997
Setelah 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 tahun lebih setelah Pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Satu hal yang nyata perbedaannya dengan Pemilu-pemilu sebelumnya adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, dua parpol dan satu Golkar. Hal ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah bersama-sama dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI) dan satu Golongan Karya atau Golkar. Jadi dalam 5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pesertanya hanya tiga tadi.
Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara lang-sung dan tidak langsung membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar adalah birokrasi sipil dan militer. Berikut ini dipaparkan hasil dari 5 kali Pemilu tersebut secara berturut-turut.
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada Pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 persen, atau naik 6,41. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Pemilu kali ini diwarnai banyak protes. Protes terhadap kecurangan terjadi di banyak daerah. Bahkan di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan penghitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang p

Pemilu di Era Reformasi
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Pemilu 1999
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta). Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Hal ini sudah jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Menurut UU No. 3 tahun 1999, Sistem PEMILU 1999 menggunakan sistem proporsional dengan sistem stesel daftar. Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara. Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil (jujur dan adil).
Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada Presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.
Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Hal ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord.
Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.


Pemilu 2004
a. Sistem Pemilihan DPR/DPRD
Berdasarkan UU No.12/2003, sistem yang digunakan dalam pemilihan legislatif adalah sistem proporsional dengan daftar terbuka (ps.6 ayat 1). Dalam sistem ini, selain dicantumkan lambang partai sekaligus daftar nama calon legislatif. Dengan demikian, para pemilih dapat memilih partai dan calon yang dikehendaki. Melalui sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka, masyarakat pemilih tidak lagi hanya mencoblos tanda gambar partai, tetapi boleh memilih orang dari masing-masing kontestan. Parpol dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% dari jumlah kursi satu daerah pemilihan (ps. 65 ayat 2). Daftar calon yang diajukan oleh parpol disusun berdasarkan nomor urut yang ditetapkan parpol sesuai dengan tingkatanya (ps. 67 ayat 3).
Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka dapat menghindari bias terhadap parpol kecil yang merupakan salah satu kelemahan sistem distrik. Artinya, suara yang diperoleh partai tidak serta merta hangus dan sia-sia jika tidak memenuhi bilang pembagi. Secara teknis, sistem ini juga memperingan beban calon dalam meniti karir di partai politik. Selain itu, partai politik tidak bisa sewenang-wenang menetapkan calon terpilih kecuali jika suara tidak memenuhi BPP. Dengan demikian, akuntabilitas calon terhadap pemilihan dan daerah pemilihan jauh lebih besar dibanding pemilu sebelumnya.
Namun, jika kita mementingkan tingkat akuntabilitas, permasalahan yang mengemuka pada pemilu DPR/DPRD adalah tidak adanya keharusan bagi pemilih untuk mencoblos nama calon legislatif. Suara dianggap sah jika lambang partai yang dicoblos atau pemilih mencoblos lambang partai dan nama calon, sementara suara dianggap tidak sah jika pemilih hanya mencoblos nama calon. Celah regulasi ini, dimanfaatkan oleh partai untuk menyerukan kepada pemilih agar mencoblos lambang partai saja. Terbukti hanya sedikit calon yang terpilih karena telah memenuhi bilangan pembagi.

b. Sistem Pemilihan DPD
Berbeda dengan logika yang dibangun dalam sistem pemilu DPR/DPRD, logika keterwakilan dalam DPD dibangun dengan beberapa asumsi, Pertama, DPD merupakan perwakilan ruang. Artinya DPD tidak mewakili orang sebagaimana DPR. DPD mewakili wilayah yang disebut sebagai provinsi. Setiap wilayah yang diwakili DPD dianggap memiliki kekhususan lokal yang harus diapresiasi dalam tingkat nasional. Kedua, komposisi suara DPD dalam MPR dipakai sebagai penyeimbang perwakilan antara Jawa-luar Jawa. Jumlah anggota DPR yang mewakili orang akan sebanding dengan jumlah penduduk dimana 70 % penduduk tinggal di Jawa. Sedangkan dalam sistem perwakilan DPD dimana setiap provinsi memiliki keterwakilan yang sama yaitu 4 orang, Jawa hanya akan memiliki 24 orang wakil dari 6 provinsi. Sedangkan luar Jawa akan memiliki sekitar 104 wakil dari 26 provinsi.
Sistem pemilihan DPD dilaksanakan dengan menggunakan sistem distrik berwakil banyak (UU 12/2003, Pasal 6 Ayat 2). Tujuan penggunaan sistem ini untuk peningkatkan keterikatan anggota DPD dengan warga daerah konstituenya. Artinya, dengan sistem ini berarti anggota DPD memiliki tanggungjawab moral maupun politik yang besar untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Dengan kata lain, anggota DPD sangat terikat dan tidak bisa ‘lari’ dari konstituennya. Keuntungan lain dari sistem pemilihan ini adalah secara politis anggota DPD memiliki legitimasi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan anggota DPR. Karena dukungan bersifat distrik maka hubungan antara konstituen dengan anggota DPD lebih riil dan langsung. Bahkan, jika anggota DPD cukup tekun, maka berdasarkan hasil perolehan suara, dia bisa mempunyai peta politik tentang pengaruhnya dan bisa menyusun perkiraan tentang karakter dan aspirasi konstituen (Legowo, dkk, 2005:171).
Sungguhpun demikian, sistem distrik yang digunakan dalam pemilihan DPD di Indonesia tidak sama dengan sistem distrik yang dipakai di Amerika, Canada, India, New Zealand, dsb. Beberapa perbedaan tersebut adalah: (Pratikno, 2004)
1. Tidak memperhitungkan jumlah penduduk. Padahal dalam sistem distrik yang lazim, jumlah penduduk merupakan penentuan bagi jumlah distrik dan keterwakilannya, karena mewakili distrik tertentu dianggap mewakili orang yang ada di distrik tersebut. Dengan demikian, sistem distrik dalam pemilu DPD menggunakan logika perwakilan ruang bukan orang.
2. Setiap pemenang memperoleh suara yang berbeda-beda. Jumlah suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi DKI akan jauh lebih banyak dari suara yang diperoleh anggota DPD dari Provinsi Gorontalo. Usaha untuk memenangkan pemilu DPD pada daerah padat penduduk akan lebih susah dari yang penduduknya sedikit. Pada sistem distrik yang lazim, suara yang didapatkan untuk setiap kandidat relatif sama, karena distrik dibagi berdasarkan jumlah penduduk.
3. Pemilih hanya diberi kesempatan memilih satu kali untuk 4 orang perwakilan. Hal ini menyebabkan prosentase suara yang didapatkan pemenang sangat bergantung kepada peserta pemilu DPD untuk setiap Provinsi. Dalam sistem Block Vote, pemilih diberi kesempatan untuk memilih sebanyak kandidat yang akan mewakili setiap distrik.
4. Pemenang tidak akan mencapai mayoritas. Pemenang maksimal hanya akan mendapatkan dukungan 20 % seandainya peserta DPD hanya 5 orang dengan asumsi semua orang memiliki dukungan yang hampir sama. Prosentase ini akan semakin kecil dengan semakin banyakya jumlah kandidat. Dalam Block Vote System, kandidat yang terpilih dapat memperoleh mayoritas suara lebih dari 50%. Block Vote lebih menunjukkan tingkat dukungan riil yang didapatkan.


c. Sistem Pemilihan Presiden
Sistem pemilihan presiden langsung di Indonesia mengacu pada pasal 6 A terutama dalam ayat 3 dan 4. Dimana calon dinyatakan sebagai pemenang bila memperoleh minimal 50+1 suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Jika tidak ada yang mendapatkan suara itu diadakan pemilu ulang diantara dua calon yang memperoleh suara terbanyak. Menurut Smita Notasusanto, pemilihan presiden dan wakil presiden dengan dua putaran dijalankan dengan tujuan pokoknya membangun dukungan luas bagi presiden, legislatif maupun masyarakat, sehingga legitimasi politik lebih kokoh dan stabilitas pemerintahan lebih terjamin. Paling tidak ada lima kelebihan dengan memakai sistem ini (Notosusanto, 2002):
1. Memiliki mandat dan legitmasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara rakyat secara langsung;
2. Tidak perlu terikat pada konsensi partai-partai atau faksi-faksi politik yang telah memilihnya;
3. Lebih akuntabel dibandingkan sistem lain. Karena rakyat tidak harus menitipkan suaranya kepada legislatif atau ‘electoral college’ secara sebagian atau sepenuhnya;
4. Check and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif dapat lebih seimbang;
5. Kriteria calon proses dapat dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya.

d. Pemilihan Kepala Daerah
Amandemen UUD 1945 mengamanatkan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Peserta dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pengertian partai politik dan gabungan partai politik tentu saja partai yang memiliki kursi di legislatif. Yang sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam pemilihan umum serta memperhatikan pendapat dan tanggapan dari masyarakat. Secara umum, sistem pemilihan kepala daerah sama dengan sistem pemilihan presiden yaitu menggunakan two round system. Namun, yang membedakan adalah putaran kedua pada pemilihan kepala daerah hanya dilakukan ketika tidak ada kandidat yang menang 25% pada putaran pertama.

Tata Cara Dan Proses Perhitungan Pemilu Legislatif
Jika dibandingkan dengan pemilu Presiden, Gubernur/Bupati/Walikota, dan DPD yang menggunaan sistem pluralitas-mayoritas, tata cara dan proses penghitungan pemilu legislatif di Indonesia lebih rumit. Ini disebabkan pemilu legslatif menggunakan sistem proporsional daftar terbuka dimana anggota legislatif terpilih bukan hanya yang memenuhi BPP tetapi juga menghitung jumlah suara yang partai politik untuk dikonversi menjadi kursi. Untuk itu, pada bagian ini yang akan dibahas hanyalah tata cara dan proses penghitungan suara legislatif.
Pemungutan suara pemilihan anggota DPR/DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak pada hari dan tanggal yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pada saat pemberian suara, pemilih dapat mencoblos dengan dua cara, yaitu mencoblos gambar partai atau mencoblos gambar partai dan gambar calon anggota legislatif. Suara dianggap tidak sah jika pemilih hanya mencoblos gambar calon anggota legislatif.
Dalam pemilu legislatif metode penghitungan suara untuk menentukan alokasi kursi yang diperoleh setiap parpol peserta pemilu diatur dalam Pasal 105 dan 106 UU No.12/2003. Metode penghitungan suara dilakukan melalui dua (2) tahapan penghitungan suara:

Tahap 1
 Hitung perolehan suara sah setiap parpol dan totalnya dari satu daerah pemilihan
 Hitung Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yaitu total suara sah satu daerah pemilihan dibagi jumlah kursi yang diperebutkan di daerah tersebut (ps 105,2).
 Suara sah setiap parpol dibagi dgn BPP. Parpol yang suara sahnya lebih dari angka BPP akan langsung mendapat kursi. Kelebihan suara dan suara sah parpol yg kurang dari BPP menjadi sisa suara.
Tahap 2
 Kursi yang belum habis terbagi pada tahap pertama akan didis-tribusikan pada perhitungan tahap kedua
 Sisa kursi akan diberikan kepada parpol satu persatu berdasarkan urutan parpol yang memperoleh sisa suara terbanyak
 Setelah semua kursi satu daerah pemilihan telah habis terbagi, sisa suara yang lain hangus. Tidak lagi diatur penggabungan suara dengan daerah lain baik dalam satu maupun gabungan parpol. Stembus Accord dilarang.
Setelah setiap parpol mengetahui alokasi kursi yang diperolehnya, maka langkah berikutnya adalah menentukan caleg terpilih yang akan menduduki kursi-kursi yang telah diperoleh parpol dalam proses penghitungan suara tahap ke 1 dan ke 2. Langkah-langkah yang harus diambil dalam penetapan calon terpilih adalah :

 Melihat hasil perhitungan perolehan suara setiap caleg.
 Caleg yang perolehan suaranya mencapai BPP langsung ditetapkan sebagai calon terpilih.
 Caleg yang tidak mencapai BPP tidak memperoleh kursi, parpol kemudian menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut dalam daftar parpol di daerah pemilihan tersebut.
Teknik penghitungan di atas tentunya bukan tidak memunculkan problem baik problem teknis maupun substanstif. Berikut problem-problem yang muncul dalam penghitungan suara pada pemilu legislatif.





Pada Pemilu 1999, Daerah Pemilihan (DP) merupakan satu kesatuan daerah administratif pemerintahan (Provinsi, Kabupaten/ Kota). Pada Pemilu 2004 DP merupakan gabungan dari dua atau lebih daerah administratif pemerintahan (kabupaten/ kota atau kecamatan) (Ps. 46/1). Berdasarkan UU No.12/2003 Pasal 46, maka:
1. Daerah Pemilihan Anggota DPR adalah Provinsi atau bagian-bagian provinsi.
2. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi adalah Kabupaten/Kota atau gabungan Kabupaten/Kota.
3. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota adalah Kecamatan atau Gabungan Kecamatan.

Jika ditelururi secara seksama, pembagian daerah pemilihan seperti itu bukanlah tanpa masalah. Masalah yang ditimbulkan oleh aturan tentang pembentukan DP berkait dengan rentang jumlah kursi di setiap DP. Dalam UU No. 12 tahun 2003 rentang jumlah kursi di setiap DP yang berjumlah 3 sampai dengan 12, akan menghasilkan keterwakilan yang sangat berbeda (Ps. 46/2), yaitu: (Cetro, 2004)
1. Semakin ke arah 3 maka hasil pemilu semakin tidak proporsional, semakin sulit bagi partai untuk meperoleh kursi di Daerah Pemilihan tersebut. Hal ini disebabkan karena nilai satu kursi menjadi sangat mahal (Harga satu kursi = 1/3 atau 33,3 % suara).
2. Semakin ke arah 12 maka hasil pemilu semakin proporsional, semakin mudah bagi partai untuk memperoleh kursi karena nilai satu kursi = 1/12 atau 8,4% suara untuk DP dgn 12 kursi).
3. Akibatnya, semakin besar ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi yang diperebutkan, semakin besar peluang bagi parpol menengah dan kecil untuk memperoleh kursi. Sebaliknya semakin kecil ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut, semakin besar peluang bagi parpol besar.
4. Pengaturan tersebut lebih mirip pembatasan (threshold) tersembunyi.
5. Di wilayah yang sudah didominasi satu atau dua partai politik daerah pemilihan kecil akan menyulitkan partai yang berada diurutan bawah.
6. Efek threshold tersembunyi juga akan mengurangi peluang terpilihnya caleg perempuan. Semakin kecil ukuran daerah pemilihan dan jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut, semakin kecil peluang caleg perempuan untuk terpilih kecuali bila diletakkan di “nomor” jadi. Hal ini disebabkan karena di DP dengan jumlah kursi kecil, maka insentif bagi parpol untuk mencalonkan caleg perempuan akan kecil karena harus bertarung dengan sengit dan parpol akan segan mencalonkan caleg yang dianggap sudah pasti kalah.
7. Simulasi terhadap hasil Pemilu 1999 menunjukkan bahwa perolehan Parpol besar seperti PDIP dan Golkar semakin besar apabila ukuran DP (atau jumlah kursi dalam DP) kecil, sedangkan perolehan parpol menengah, parpol kecil akan bertambah apabila ukuran (atau jumlah kursi dalam DP) besar.

Tips-tips di atas perlu diperhatikan agar kelompok masyarakat tertentu, seperti kelompok minoritas tidak dirugikan dengan hasil pemetaan DP yang dapat merugikan keterwakilan kelompok minoritas seperti kelompok etnis atau kelompok agama.
******

0 komentar:

Posting Komentar